Selasa, 17 Juli 2012

ASBAB AN-NUZUL Al-QUR'AN Part II

     Lafal yang Digunakan dalam Asbab Al- Nuzul
Sighat atau ta’bir adalah ungkapan yang digunakan para shahabat dari para perowi untuk menunjukkan sebab turunnya ayat al-Qur’an, ada beberapa bentuk yaitu :
   1. Mengungkapkan dengan lafal asbab al nuzul secara tegas, seperti: secara definitive menunjukkan sebab nuzul yang sharih (tegas), tidak mengandung makna lain.
   2. Tidak diungkapkan dengan lafal yang jelas, tetapi dengan memasukan ta’qibiyah pada kata nazala, seperti: ungkapan ini menunjukkan makna yang shahih, bahwa peristiwa itu menjadi sebab turunnya ayat.
3.   Tidak diungkapkan dengan lafal, tetapi dengan dipahami dari konteksnya, seperti Rasul ditanya tentang ruh, wanita haid dan lain-lain. Hal tersebut sudah tentu sharih karena secara eksplisit tertuang dalam ayat yang bersangkutan.
4.  Perowi terkadang mengungkapkan dengan lafal yang tidak jelas, seperti makna tersebut kadang menunjukkan sebab turun ayat, kadang menunjukkan hukum terkandung dalam ayat tersebut. Menurut Ibn Taimiyah kata-kata seperti itu terkadang menyatakan sebab turun dan terkadang menyatakan kandungan hukum meskipun sebabnya tidak ada.
Shigat pada ungkapan pertama, kedua dan ketiga merupakan bentuk yang sharih, sedangkan yang keempat merupakan bentuk yang muhtamal. Apabila ditemukan riwayat yang satu berbentuk sharih dan yang lainnya berbentuk muhtamal maka yang dijadikan pegangan yang berbentuk sharih.
Kegunaan Asbab Al-Nuzul dalam Penafsiran Al-Qur’an
Betapa kelirunya orang yang mengatakan bahwa tidak ada gunanya mempelajari ilmu asbab al nuzul. Sangat urgen untuk diketahui mengingat faidah dan kegunaannya yang sangat besar dalam memahami ayat al-Qur’an terutama tafsir. Walaupun pada masa turun al-Qur’an, para sahabat berbangsa Arab asli, memahami dan menguasai betul bahasanya. Akan tetapi apabila tidak mengetahui sebab turunnya ayat akan menimbulkan pemahaman dan penafsiran yang keliru sehingga berakibat fatal.
Seperti yang dialami sahabat Usman  ibn Ma’zum dan Amr ibn Ma’addi yang salah menginterprestasikan surat al-Maidah ayat 93. Keduanya menganggap bahwa orang Mukmin boleh minum khamar, padahal sebab turun ayat tersebut ketika diharamkannya khamar ada yang bertanya bagai-mana orang Mukmin yang sudah meninggal se-dang ia dulu minum khamar.
Keponakan Siti Aisyah, Urwah ibn Zubair bingung dengan keharusan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah dalam ibadah haji, padahal dalam su-rat al-Baqarah ayat 158 diungkapkan dengan “tidak berdosa”. Padahal sebab turunnya ayat tersebut waktu itu lari antara Shafa dan Marwah adalah kebisaaan orang jahiliyah, mereka menyimpan berhala Isaf dan Nailah di bukit itu untuk diusap.
Ketika Islam lahir patung tersebut di-hancurkan dan orang Muslim tetap merasa ragu untuk melakukan sa ‘i di tempat itu.
Marwan ibn Hakam merasa bingung dalam memahami surat al-Baqarah ayat 188, tentang siksaan bagi orang yang merasa senang untuk mendapatkan pujian dengan apa-apa yang belum ia kerjakan, padahal ayat itu turun tentang orang Yahudi yang ditanya sesuatu oleh Rasul tetapi mereka menyembunyikan dan menjawabnya dengan yang lain.
Kemudian dalam surat al-Baqarah ayat 115, yang secara eksplisit menunjukkan pelaksanaan shalat boleh menghadap kemana saja, tidak wajib menghadap kiblat. Padahal ayat tersebut sebab turunnya untuk orang yang sedang safar, shalat di atas kendaraan.
Oleh karena itu al Wahidy berkata, “tidak mungkin dapat mengetahui penafsiran ayat al-Qur‘an tanpa mengetahui kisahnya dan sebab tu-runnya”.
Daqiq al-‘Ied berkata, “penjelasan sebab turunnya ayat adalah metode yang kuat dalam memahami makna-makna yang terkandung dalam al‑Qur’an”. Ibn Taimiyah berkata, “mengetahui sebab-sebab turunnya ayat membantu untuk memahami ayat al-Qur’an, karena mengetahui tentang sebab akan membawa kepada pengetahuan tentang akibat”.
Al-Zarqani merinci guna dan faidah mempelajari ilmu asbab al-nuzul sebagai berikut:
1.   Untuk mengetahui kandungan hikmah ajaran Allah SWT dengan jelas, terutama yang berhubungan dengan syari’at dan berkaitan erat dengan tasyri’.
2. Mengetahui asbab al-nuzul membantu seseorang dalam memahami ayat sehingga terhindar dari kekeliruan dan keraguan atau terhindar dari kemubhaman dan kemusykilan.
3.   Memudahkan hafalan dan memberikan atsar bagi orang yang mendengarkannya.

 Kaidah Menetapkan Hukum Dikaitkan dengan Asbab Al-Nuzul
Dalam menetapkan hukum yang terkandung dalam ayat-ayat yang bersifat umum, sama sekali tidak terikat oleh sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Seperti peristiwa qadzaf tuduhan berzina Hilal ibn Umayah terhadap istrinya, maka turun ayat-ayat li’an :

والذين يرمون المحصنات ثم لَم يأْ توا باربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلده ... ان كان من الصادقين
Lafal الذين adalah isim mausul berbentuk jamak, menunjukkan bahwa ayat tersebut bersifat umum, sedangkan yang menjadi sebab turunnya ayat ini bersifat khusus, yakni kepada Hilal ibn Umayah yang menuduh istrinya berzina dengan Syuraik ibn Sahma. Bentuk ayat yang bersifat umum ini tentu saja tidak hanya berlaku bagi Hilal dan istrinya, akan tetapi berlaku juga bagi setiap orang yang berbuat seperti itu, sesuai dengan keumuman ayat tersebut, maka lahirlah kaidah ushul fiqih.                                                                                        
Dan ayat-ayat yang diberlakukan keumumannya itu, bukan hanya ayat-ayat hukum saja tetapi mencakup ayat-ayat ancaaman, sindiran, teguran dan lain-lain. Tetapi ada juga sebagian yang berpendapat bahwa ayat tersebut tetap harus berlaku khusus sesuai dengan kekhususan sebabnya. Oleh karena itu mereka berpegang pada kaidah ushul fiqh yang sebaliknya.
Dengan kaidah ini, hukum pada ayat tersebut menjadi sangat terbatas, hanya diberlakukan khusus pada peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat tersebut. Sedangkan untuk menetapkan hukum bagi orang yang datang kemudian dan mengalami peristiwa yang sama, maka dilakukan dengan jalan analogi (qiyas) atau berpegang pada hadits Nabi.
Dilihat dari segi penerapan hukum pada ayat tersebut, kedua pendapat di atas tidak ada bedanya, karena keduanya sama-sama melaksanakan hukum qadzaf. Akan tetapi bila dilihat dari segi argumenttasinya memang berbeda. Mayoritas ulama cenderung berpegang pada qaidah pertama bahwa hukum qadzaf atas orang orang di kemudian hari yang tentu diluar yang menjadi sebab turunnya ayat adalah sama, yaitu berdasarkan nash al-Qur’an yang bersifat Qath’i wurudnya. Sedangkan penerapan hukum yang kedua atas dasar analogi sebagai hasil ijtihad sudah tentu penentuan hukum tersebut bersifat dzanny dan harus disesuaikan dengan syarat-syarat qiyas.
Menurut al Zarqani telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama bahwa ayat yang menggunakan lafal khusus dan penerapan hukumnya pun terbatas pada orang yang menjadi sebab turunnya, seperti pada surat al-Lail ayat 17-21. Ayat tersebut turun pada Abu Bakar al Siddiq, sehingga menurut para mufassir kata “الأتقى“ di sana yang dimaksud adalah Abu Bakar, karena lafalnya menggunakan alif lam al-Ahdiyah, maka tentulah lafal ini diperuntukkan bagi orang yang ayat tersebut turun padanya. Dari Urwah bahwa Abu bakar al Siddiq memerdekakan tujuh orang hamba sahaya Islam yang semuanya disiksa, yaitu: Bilal Amir ibn Fuhairah, al Nahdiah dan putrinya, Ibnu Isa dan dua orang dari Bani Mau’il.
Analisis
Semua paparan diatas membahas tentang ayat-ayat yang ada asbab al-nuzulnya, maka bagaimana, dengan ayat-ayat Allah yang diturunkan tanpa sebab yang mendahuluinya? baik berupa kisah-kisah umat terdahulu, peristiwa yang telah lalu, khabar-khabar yang akan terjadi, bahkan keadaan kiamat, nikmat Syurga dan siksa Neraka.
Menurut Hashbi ash Shiddieqy banyak ayat al-Qur’an yang Allah SWT turunkan sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang lurus. Dan Allah menjadikan ayat-ayat itu mempunyai hubungan menurut siyaq Qur’any dengan ayat-ayat sebelumnya dan ayat-ayat sesudahnya. Diturunkannya bukan sebagai jawaban bagi suatu pertanyaan dan bukan pula sebagai penjelasan bagi suatu peristiwa yang terjadi ahli-ahli tafsir terdahulu tidaklah berlebihan, ketika mereka kadang mendahulukan menggunakan penjelasan tentang hubungan ayat yang satu dengan yang lainnya, ketimbang mengetahui asbab al nuzulnya sehingga ditemukan atau terwujudnya keserasian antara ayat-ayat tersebut. Tetapi untuk mencari wajah munasabah itu tetap dibutuhkan asbab al nuzul, seperti dalam surat an-Nisa: 51
Setelah berselang kemudian pada ayat 58 seolah-olah berceritra tema baru, yaitu tentang menunaikan amanat. Pada ayat 51 asbabnya tentang seorang ahli kitab, yaitu Ka’ab ibn al Asyraf sesudah perang Badar sedangkan ayat 51 asbabnya mengenai Usman ibn Talhahal Abdary seorang penjaga pintu ka’bah masa futuh Mekkah yang berselang enam tahun. Jadi menurut para ahli tahqiq bahwa ahlul kitab yang menemukan dalam kitab mereka tentang kebangkitan Nabi SAW dan sifatnya. Kepada mereka telah diambil suatu perjanjian bahwa mereka tidak boleh menyembunyikan amanah, tetapi mereka berkhianat, keadaan penghkianatan itu sama dengan orang yang menerima amanah tetapi tidak mau menyampaikan kepada ahlinya disitulah wajah munasabah antara a-yat tersebut.
Sesungguhnya hubungan ayat-ayat al-Qur’an satu dengan lainnya bergandengan kalimat-kalimatnya dan jumlah-jumlahnya, kenyataannya serta keserasian sebahagian dengan yang lainnya terdapat suatu ilmu yang besar, yang di dalammya tersimpan keindahan susunan al-Qur’an dan di bawah sinar ilmu inilah ditafsirkan kebanyakan hukum-hukum al-Qur’an dan syari’at-syari‘atnya.
Ilmu tersebut adalah ilmu munasabah yang dipelopori oleh Imam Abu Bakar al Naisabury (w. 324 H) di Bagdad. Ia merendahkan nilai para ulama di ngerinya lantaran tidak mengetahui wajah munasabah dalam ayat-ayat al-Qur’an. Beliau selalu bertanya apabila dibacakan ayat atau surat di hadapannya, mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat ini dan mengapa ayat ini diletakkan sesudah ayat ini? Untuk mengetahui secara rinci tentang ilmu ini, akan kita bahas dalam tulisan selanjutnya. Kalau menganalisa keterkaitan antara asbab al-nuzul dengan ilmu munasabah di atas, maka apakah bisa ayat-ayat yang turunnya tanpa asbab al-nuzul terlebih dahulu (untuk mengetahui kejelasannya) diteropong lewat ilmu munasabah? Wallahu ‘alam bi al shawab   
 

ILMU ASBAB AN-NUZUL DALAM AL-QUR'AN



 
Pengertian Asbabun Nuzul
Asbab nuzul artinya sebab‑sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an, maksudnya adalah peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi di masa Rasulullah SAW yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat al-Qur’an, baik berupa jawaban, penegasan atau pun teguran terhadap peristiwa tersebut. Menurut al Zarqani :

سبب النزول هو ما نزلت الأية هو الأيات محدثة او مبية لحكمة ايٌام وقومه.
Artinya: Sabaab al nuzul adalah diturunkannya su-atu ayat atau beberapa ayat sebagai jawaban peristiwa atau sebagai penegasan hukumnya yang terjadi waktu itu. Menurut Shubhi al Shalih:

سبب النزول هو ما نزلت الأية اَوِ الأَيَا ت بِسَبَبِهِ مُتَضمٌِنَةًًً له او محيبة عنه او مبينه لحكمه زمن وقوعه
Artinya: Saabab al nuzul adalah sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu atau sebagai jawaban terhadap sebab itu atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.
Kedua definisi tersebut di atas satu sama lainnya saling melengkapi, keduanya memberikan pengertian bahwa sebab turun suatu ayat kadang kala diawali dengan bentuk peristiwa (sebagai reaksi dari peristiwa tertentu), atau sebagai jawaban dari pertanyaan, atau sebagai penjelasan dan penegasan hukumnya.
Bentuk Bentuk Asbabun Nuzul
Yang dimaksud dengan peristiwa adalah kejadian di zaman Nabi Muhammad SAW, baik kejadian tersebut langsung dialami oleh beliau, keluarganya ataupun para sahabatnya. Peristiwa tersebut antara lain:
  1. Peristiwa yang langsung dialami oleh Rasulullah, tentang kisah Ummi Maktum ia seorang buta, minta diajarkan tentang Islam tetapi Rasul tidak menghiraukannya karena beliau sedang menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, maka turun  surat Abasa ayat 1‑10 sebagai teguran kepada Rasulullah SAW.
  2. Perististiwa yang dialami keluarga Rasul, tentang cerita dusta dan fitnah yang menimpa Ummul Mukminin Siti ‘Aisyah yang diisukan bersama Sharman ibn Mu’aththal, maka turun ayat An-Nuur ayat 11‑20 tentang kesucian diri Siti ‘Aisyah.
  3. Peristiwa yang dialami para sahabatnya, tentang Mazid seorang pedagang yang ingin menikahi anak seorang wanita penghibur, maka turun surat An‑Nuur ayat 3.
 Dilihat data bentuknya, peristiwa itu ada tiga:
1.  Peristiwa yang berupa pertengkaran, seperti suku Aus dan suku Khozroj, maka turun surat al-Imran mulai ayat 100 yang dengan tegas memerintah orang-orang yang beriman untuk menjauhi pertengkaran dan senantiasa saling menjunjung persatuan dan kesatuan.
2.   Peristiwa yang berupa kesalahan mendasar, seperti kisah Ali yang menjadi imam salat dalam keadaan mabuk. Sehingga ia melakukan kekeliruan dalam membaca surat al-Kafirun yang berakibat fatal, maka turun surat an-Nisa ayat 43, sebagai larangan shalat bagi orang yang mabuk.
3.   Peristiwa yang berupa harapan seseorang, seperti yang diriwayatkan Bukhari dari Anas bahwa Umar berkata, ”aku sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal” aku katakan kepada Rasul bagaimana kiranya makam Ibrahim dijadikan tempat shalat maka turun surat.
      “Aku katakan pada Rasul bahwa orang yang masuk ke tempat istri-istrimu ada yang baik dan jahat, bagaimana sekiranya mereka bertabir, maka turun surat al‑Ahzab ayat 53. Dan ketika para istri Rasul cemburu maka aku katakan pada mereka, ”Jika Rasul menceraikan kalian, maka Allah akan memberi ganti yang lebih baik dari kalian,” maka turun ayat yang senada yaitu dalam surat at-Tahrim ayat 5.
Sedangkan “pertanyaan”, dilihat dari motivasinya terbagi dua :
  1. Pertanyaan itu datangnya dari kaum Muslimin, mereka bertanya kepada Rasul semata-mata  karena mereka ragu, ingin tabu dan mengharapkan penjelasan. Seperti pertanyaan mereka tentang harta yang harus diinfakkan maka turun surat al-Baqarah ayat 219.
  2. Pertanyaan itu datangnya dari kaum musyrikin Quraisy atau ahli kitab mereka bertanya bukan karena ragu atau ingin tahu tapi hanya sekedar ingin menguji kerasulan Muhammad SAW, seperti pertanyaan mereka tentang ruh, terjadinya hari kiamat dan sejenisnya.

Dan pertanyaan tersebut bila dikaitkan dengan waktu terbagi tiga :
1.   Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah lalu seperti pertanyaan tentang Dzul Qarnain surat al-Kahfi ayat 63.
2.   Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang terjadi di kala itu, seperti pertanyaan tentang harta infak, pertanyaan tentang ruh dalam surat al-Isra: 85
3.   Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang belum terjadi seperti pertanyaan tentang kapan hari kiamat.
Dan yang dimaksud sebagai penjelasan dan penegasan hukum seperti tentang dlihar yang diriwayatkan Ibnu Majah, Abi Hatim dan lain lain. dari  siti ‘Aisyah ra, dia berkata “Maha Suci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu, aku mendengar Khaulah Binti Tsa’labah yang mengadu tentang suaminya Aus Ibn al Shamit”.7 Kepada Rasul ia berkata “ya Rasullullah, masa mudaku telah berlalu, perutku telah keriput aku telah tua bangka dan tidak akan melahirkan anak lagi, suamiku mendliharku, ya Allah aku mengadu kepada-Mu”. Maka turun surat al-Mujadalah ayat 1-6 yang menetapkan hukum dlihar dan sekaligus sebagai larangan bagi setiap suami untuk melaku-kannya.
Cantoh-contoh di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu diturunkan dengan didahului oleh  suatu sebab tertentu, namun demikian tidak semua ayat al-Qur’an selalu didahului oleh suatu sebab, ada juga ayat yang turunnya tidak didahului oleh suatu sebab tertentu, misalnya sebagian ayat yang menyangkut tentang keimanan, kewajiban, dan syari’at agama.
 Periwayatan Asbab Al-Nuzul
Satu-satunya jalan untuk mengetahui asbab al-nuzul hanya dengan periwayatan yang diterima dari ulama salaf setiap periwayatannya tentu ada yang shahih dan tidak shahih (diterima dan dittolak) oleh karena itu dibutuhkan penyeleksian dan penelusuran para rowi yang dapat dipercaya seperti halnya dalam periwayatan hadits, hanya periwayatan yang paling tinggi derajatnya dalam asbab al-nuzul adalah mauqufan tetapi dihukumi dengan marfu’ yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Mayoritas ulama berpendapat bahwa setiap asbab al-nuzul dari kalangan para sahabat wajib diterima, selama tidak ada riwayat yang lebih kuat yang melemahkannya.
Sebagaimana yang diungkapkan al-Wahidy bahwa tidak dibenarkan membicarakan sebab-sebab turunnya al‑Qur’an kecuali melalui periwayatan dan mendengar dari orang-orang yang menyak-sikan turunnya ayat dan mereka mengetahui serta memahami sebab-sebab turunnya dan membahas pengertiannya.
Dan sebagai sumber riwayat ini tiada lain adalah para sahabat. Mereka memiliki semangat dan intensitas keimanan yang tinggi dalam mengikuti perjalanan turunnya wahyu serta kecintaan mereka kepada Nabi, telah mendorong mereka untuk memberikan perhatian maksimal kepada apa yang dibawa Nabi SAW.
Sebagian para sahabat, seperti Ibnu Masud, Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya berkata bahwa “tiadalah turun sesuatu ayat kecuali aku mengetahui terhadap apa ayat itu turun terhadap siapa ayat itu turun dan dimana, ayat itu turun”. 
Pernyataan itu seharusnya tidak difahami secara harfiah, tetapi dapat difahami melalui beberapa kemungkinan :
  • Pertama, dengan pernyataan seperti itu mereka bermaksud mengungkapkan betapa kuatnya perhatian mereka terhadap al-Qur’an dan mengikuti setiap keadaan yang berhubungan dengannya.
  • Kedua, mereka berbaik sangka dengan segala apa yang mereka dengar dan saksikan pada masa Rasul dan menginginkan agar orang mengambil apa yang mereka ketahui sehingga tidak akan lenyap dengan berakhirnya kehidupan mereka. Bagaimanapun suatu hal yang logis bahwa tidak mungkin semua asbab al-nuzul dari semua ayat yang mempunyai asbab al-nuzul bisa mereka saksikan.
  • Ketiga, para periwayat menambahkan dalam periwayatannya dan membahasakannya kepada sahabat. Hasbi al Siddiqie menambahkan, “kita sudah mengetahui bahwa para sababat memberi perhatian yang penuh kepada al-Qur’an. Mereka mengumpulkannya di dada-dada mereka dan di halaman kertas. Akan tetapi karena al-Qur’an itu turun kepada Nabi seketika, sesudah terjadi suatu kejadian atau beberapa kejadian, maka tentu para sahabat tidak mungkin menyaksikan sendiri sebab-sebab turunnya ayat. Walaupun mereka hapal ayat yang mereka dengar, namun tak memungkinkan segala dzat yang wajib mereka hafal dapat mereka ketahui asbab nuzulnya. Oleh karenanya tak heran apabila ada sahabat yang tidak mengetahui selengkapnya”.

Namun demikian, mereka bukan saja berupaya menghafal ayat-ayat al-Qur’an dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya tetapi mereka juga, melestarikan sunnah Nabi. Jadi segala apa yang mereka sampaikan tentang sebab-sebab turunnya al-Qur’an dapat diterima, karena mereka menyampaikannya berdasarkan keimanan, ketaqwaan dan kewara’an.
Ibnu Salah al Hakim menegaskan dalam ilmu hadits, apabila seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat al-Qur’an, bahwa ayat tersebut turun berkenaan, dengan suatu peristiwa, maka hadits itu dipandang hadits musnad yang periwayatannya bersambung dari mulai penulis sampai kepada sahabat dan Nabi. Dengan demikian setiap asbab al-nuzul yang diriwayatkan oleh seorang sahabat adalah diterima, sekalipun tidak dikuatkan oleh riwayat lainnya. Sedangkan periwayatan asbab al-nuzul dengan hadits mursal, yang sanad-nya hanya sampai ke tabi’in, menurut imam al Suyuti periwayatannya tidak dapat diterima kecuali apabila terpenuhi dua syarat sebagai berikut :
1.   Apabila mursal tersebut dishahihkan dengan periwayatan lainnya.
2.   Rawinya harus terdiri dari para imam tafsir ke-namaan yang langsung menerimanya dari para sahabat, seperti imam Mujahid ibn Jabir (w. 103 H.) mengambil ilmu tafsirnya dari Ibn Abbas, Ikrimah Naula ibn Abbas (w. 105 H.) mengambil ilmu tafsirnya dari ibnu Abbas, Sa’id ibn Jubair (w. 94 H.) mengambil ilmu tafsirnya dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
Telah diketahui bahwa ulama salaf itu sangatlah wara’ namun kewara’an mereka tidak menghalangi untuk menerima khabar-khabar dari para sahabat tentang sebab-sebab turunnya ayat, ini membuktikan bahwa riwayat para sahabat tentang asbab al-nuzul dapat diterima sebagai hujjah dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, bahkan ulama salaf mengatakan “sesungguhnya perkataan sahabat tentang sesuatu yang tak dapat dicapai dengan pikiran dan ijtihad, tetapi pegangannya, penukilan dan pendengaran diyakini bahwa. sahabat itu mendengar dari Nabi apa yang dituturkannya itu, karena sangat tidak masuk akal bahwa sahabat itu mengatakan yang demikian dari ijtihadnya sen-diri”.

 Dengan syarat-syarat tersebut di atas dapat di-pahami sebagai upaya untuk menshahihkan riwayat guna memastikan adanya pensaksian sendiri atau memastikan bahwa periwayat itu menanyakan langsung kepada orang yang mengetahuinya, barangkali itulah sebabnya para ulama membatasi jalan mengetahui asbab al-nuzul dalam riwayat yang shahih saja mereka tidak membenarkan seseorang mengeluarkan pandapat atau berijtihad.
Macam-macam Asbab al-Nuzul
Dilihat dari kuantitas riwayat asbab al-nuzul ayat yang turun, maka terbagi dua :
1.  Satu peristiwa menjadi sebab turunnya bebera-pa ayat (turun beberapa ayat dengan satu sebab), seperti yang diriwayatkan Imam Turmudzi, al-Hakim dari Ummu Salamah tentang tidak disebutkannya wanita dalam hijrah, maka turun surat al Ah-zab ayat 35 dan surat al-Imran ayat 195.
2.  Beberapa peristiwa yang menjadi sebab turunnya suatu ayat berbilang sebab yang turun satu). Bentuk seperti ini dituntut untuk menyeleksi dan mengompromikan riwayat yang berbilang itu dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama, mengambil yang paling shahih, seperti asbab al-nuzul yang berkaitan dengan lima ayat dari surat adh-Dhuha. Ada yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Mas’ud yaitu keadaan Nabi sedang sakit, ada yang diriwayatkan Thabrani dari ibn Abbas yaitu seekor anak anjing yang mati di bawah ranjang Nabi sehingga Nabi tidak menerima wahyu dari Malaikat Jibril. Dari kedua riwayat tadi tentu yang dijadikan pegangan riwayat imam Bukhari, karena menurut Ibnu Hajar pada riwayat Thabrani terdapat isnad yang majhul. Kedua, apabila riwayat yang berbilang itu nilainya sama-sama shahih maka dengan cara :
  • Tarjih, kalau memungkinkan untuk ditarjih maka pegang yang tarjih dan tinggalkan yang marjuh, seperti masalah ruh yang diriwayatkan Imam Bukhari, bahwa ia dalam ilmu hadits lebih diutamakan, peristiwanya terjadi di Madinah atas pertanyaan kaum Yahudi dan ibnu Mas’ud menyaksikan peristiwa itu sampai selesai sedang Turmudzi peristiwanya terjadi di Mekkah atas pertanyaan orang Quraisy. Maka yang jadi pegangan adalah riwayat imam Bukhari.
  • Ta’addud al asbab, apabila ada dua riwayat atau lebih yang sama shahihnya dan tidak memungkinkan untuk di tarjih juga berdekatan waktunya, maka yang demikian termasuk berbilang sebab yang turun hanya satu, seperti yang terjadi pada sahabat Hilal ibn Umayah dan Uwaimir dalam kasus Wan dalam surat Al-Nur ayat 4‑9, tentang tuduhan berzina terhadap istri harus mendatangkan saksi. Bukhari meri-wayatkan dari Ibnu Abbas dan satunya lagi Bukhari‑Muslim meriwayatkan dari Sahal ibn Sa‘ad yang kejadiannya berdekatan.
  •  Keduanya shahih, maka peristiwa itu menjadi sebab turunnya ayat ini tidak mungkin mengambil salah satunya, juga tidak bisa menolak keduanya karena shahih dan tidak bertentangan (tarjihun bila murajahin).
Tikrar al nazil, apabila dua riwayat atau lebih sama-sama shahih, tidak bisa ditarjih juga tidak bisa disatukan karena kedua peristiwa itu berjauhan waktunya, maka yang demikian termasuk ayat yang berulang turun dengan sebab yang berbilang, seperti yang diriwayatkan Baihaqy dan al Bazzar dari abu hurairah dalam satu riwayat ucapan Nabi tentang balasan terhadap kematian Hamzah yang dirusak badannya waktu perang Uhud, maka turun ayat terakhir surat an-Nahl. Al-Turmudzi dan al-Hakim dari  Ubay bin Kaab dalam riwayat lain, ucapan o-rang Ashar tentang balasan terhadap kematian Hamzah maka turun ayat terakhir surat al Nahl.
Bersambung ......