H. Muslih Qurtubi, M.Ag.
Secara etimologi, nasakh
mempunyai beberapa arti, yaitu al-izaalah (penghapusan), al-tabtil
(penggantian), al-tahwil (pengalihan) dan al-naql (pemindahan,
penyalinan) jadi suatu yang meng-hapus, mengganti, dialihkan,
dipindahkan, dan di-salin disebut mansukh.
Adapun pengertian nasakh menurut
terminology ada beberapa pendapat me-nurut al-Syathibi dan para ulama mutaqodimin (a-bad 1 hingga 111)
mengartikan nasakh secara luas yang
mencakup:
تعيدامطلق
(penetapan batas terhadap hukum terdahulu yang
bersifat mutlak)
تخصيص العوم
(pengkhususan terhadap hukum terdahulu yang bersifat
umum)
بيان المبهم والمجل
(penjelasan yang datang kemudian terhadap hu-kum yang
bersifat samar dan global)
رفع الحكم اشرعى بد ليل شرعى بلؤخر
(penghapus/pencabutan berlakunya hukum syara yang
datang kemudian).
Para ulama mutaakhirin kemudian memper-sempit
pengertian nasakh, dimana nasakh terbatas pada hukum yang datang
kemudian, mencabut atau mengatakan berakhirnya masa pemberlakuan hu-kum
terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah di tetapan akhir.
Al-Zarqani menyetujui definisi terakhir dengan
memberikan penjelasan sebagai berikut:
- Memutuskan
keterkaitan hukum dengan perbuatan orang mukallaf.
- Khitab
(perintah/pesan) Allah untuk berhubu-ngan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf
- Wahyu
Allah, baik yang matluw maupun bukan matluw
yang mencakup al-Qur’an dan al-Sunah.
Selanjutnya dari definisi al-Zarqani di atas,
menegaskan bahwa:
- Nasakh dapat terealisasi bila, (1) dalil syara yang menjadi nasakh itu datangnya belakang dari hukum syara yang menjadi mansukh. (2) dalil tersebut terjadi pertentangan, ( تعارض حقيعى yang tidak mungkin dikompromikan).
- Nasakh hanya terjadi dalam masalah hukum. Pada hakekatnya yang melakukan nasakh itu adalah Allah
2. Syarat Nasakh
Dengan memperhatikan pembahasan di atas, ada beberapa
yang harus dipenuhi untuk menjadi nasakh, yaitu :
- Terdapat pertentangan secara zahir antara nasakh dan mansuk yang tidak mungkin dikompromikan
- Hukum yang di-nasakh telah ditetapkan (adanya) sebelum ditetapkan hukum nasakh.
- Hukum yang ber-nasakh adalah hukum sya-ra’.
- hukum yang di-nasakh adalah hukum sya-ra’.
- Jalan untuk menetapkan yang dinasakh ha-rus sebanding dengan jalan untuk menetap-kan yang mansukh atau lebih kuat.
- Kitab yang mansukh hukumnya tidak ter-ikat (dibatasi) dengan waktu tertentu, sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Apabila tidak dipenuhi syarat-syarat di atas, maka
tidak diperlukan nasakh. Umpamanya ada sebuah dalil yang secara zhahir tampak bertentangan dengan dalil
yang lainnya, tetapi setelah diteliti secara mendalam dan dikaitkan dengan
dalil-dalil yang lain ternyata dapat dikompromikan, ma-ka tidak diperlukan nasakh
dan kedua dalil itu da-pat diamalkan. Pengamalan dua dalil sekaligus adalah
lebih baik daripada pengamalan salah satunya dan menyia-nyiakan yang lainnya.
3. Metode
Mengetahui Nasakh
Pada syarat nasakh
yang kedua ditegaskan agar diketahui mana yang datang terlebih dahulu dan mana
yang datang belakangan. Apabila tidak diketahui mana yang lebih dahulu dan mana
yang belakangan dari dua dalil yang bertentangan itu, maka metode nasakh
ini tidak dapat dijalankan. Untuk mengatasi hal ini para ulama menempuh tiga
langkah untuk menentukan yang lebih dahulu dan mana yang kemudian secara benar,
yaitu :
1. Dalam nasakh itu sendiri
terdapat suatu yang menunjukkan penentuan, mana yang datang kemudian, misalnya
hadist:
كنت نهيتكم عن زيارة اكقبو (الا
نزوروها. رواه الحاكم)
“Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke ku-bur,
maka (kini) berziarah kuburlah”. (Hadist Hakim)
2. Ijma’ umat, bahwa yang satu lebih
dulu dari-pada yang lain, yang satunya nasakh dan yang satunya mansukh.
3.
Ada informasi
dari sahabat melalui riwayat shahih bahwa salah satu nash yang bertentangan
itu lebih dulu atau lebih kemudian daripada yang lain.
Selain itu, mengetahui asbab al-nuzul, asbab
al-wurud dan sejarah Islam pada masa Nabi akan membantu dalam menentukan
yang nasakh dan yang mansukh.
4. Ruang
Lingkup Nasakh
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, bahwa nasakh
itu hanya terjadi dalam masalah hukum. Hal ini kemudian dirinci oleh al-Yasin
sebagai berikut :
- Nasakh itu terdapat dalam perintah dan larangan
- Nasakh tidak terjadi dalam masalah hal aqidah, juga ahlaq dan adab, seperti sikap sombong sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an berikut ini: “Dan janganlah memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Surat Lukman:18).
- Nasakh tidak terjadi dalam masalah aqidah, juga tidak terjadi dalam khabar shahih, seperti janji dan ancaman.
- Nasakh tidak terjadi dalam ushul (dasar-dasar dalam ibadah dan mu’amalah) karena semua agama tidak terlepas dari dasar-dasar ini. Hal ini yang seperti terdapat dalam al-Qur’an sebagai berikut :
“Dia telah
mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepa-damu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu : tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecahbelah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya, Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada orang yang kembali (menaati-Nya). (QS. Asy-Syuura: 13).
5. Pembagian
Nasakh
Para pendukung nasakh menyatakan, nasakh terjadi
dalam al-Qur’an dan sunnah. Ayat-ayat dalam al-Qur’an dapat saling menasakh,
demikian juga dalam sunnah dapat menasakh sunnah yang lain, atau
keduanya dapat saling menasakh. Dengan demikian nasakh dibagi menjadi empat macam, yaitu:
Nasakh al-Qur’an dengan
al-Qur’an
Maksudnya
sebagian ayat al-Qur’an dapat menasakh ayat al-Qur’an yang lainnya. Para ula-ma pendukung nasakh semuanya telah
sepakat tentang adanya nasakh ini dan membolehkannya. Akan tetapi
mereka berbeda pendapat dalam menentukan yang termasuk nasakh, artinya
ayat yang dianggap terjadi nasakh oleh sebagian ulama menurut sebagian
yang lain tidak. Contoh jenis nasakh ini adalah QS. al-Baqarah ayat
240 tentang masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya selama satu
tahun dinasakh oleh QS. 2:234, yang menyebutkan masa ‘iddah-nya selama 4 bulan 10 hari.
Adapun bunyi firman Allah di atas adalah sebagai berikut :
“Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri,
hendaknya berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka
pin-dah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.
al-Baqarah: 240).
Sedangkan ayat lainnya menerangkan sebagai berikut ini:
“Orang-orang
yang meninggal diantaramu de-ngan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri
itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bu-lan sepuluh hari. Kemudian
apabila sudah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
memberikan mereka berbuat untuk diri mere-ka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS.
al-Baqarah: 234).
Contoh lain adalah ayat tentang wasiat (QS. al-Baqarah:
180) dinasakh oleh ayat mawarits
(QS. an-Nissa: 11).
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang diantara
kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Baqarah:180).
“Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pustaka untuk) anak-anakmu, yaitu :
bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan ;
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan ; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separuh harta, dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkannya, jika yang meninggal
itu mempunyai anak ; jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga ; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau sesudah dibayar utangnya. (Tentang orang tua dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu,
ini adalah ketetapan Allah. Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana (QS. an-Nissa: 11) .
Nasakh jenis
ini terbagi dalam tiga macam :
- Nasakh al hukm al-tilawah, yakni suatu ayat al-Qur’an telah dihapus hukumnya, tetapi teksnya tetap ada dalam mushaf, seperti yang telah dicontohkan di atas. Para ulama berbeda pendapat dalam menentu-kan ayat yang dihapus hukumnya, tetapi teksnya tetap ada dalam al-Qur’an. Ibn al-Jauzi (w. 597 H) menyusun sebuah kitab yang secara khusus mem-bahas nasakh semacam ini. Beliau mengumpulkan dan meneliti ayat-ayat yang oleh para ulama diang-gap mansukh. Dalam hitungnya tidak dari 235 ayat yang mansukh yang tersebar dalam 61 surat. Lain halnya al-Sayuti (w. 911 H), beliau mengatakan bahwa ayat-ayat yang mansukh itu hanya 20 saja, tetapi bagi as-Syaukani (w. 1250 H) sebagai-mana yag dikutip oleh Hasbi as-Shidiqy, ayat yang mansukh adalah al-Qur’an itu hanya ada delapan ayat saja.
- Nasakh al-tilawah duna al-hukm, yakni baik teks ayat dalam mushaf sudah dihapus, tetapi hukumnya masih tetap berlaku, contohnya :
السيغ السيحة اذازنيا نا رجوها البنه نكل س الله والله
عزيرحكيم
Pada awalnya ayat rajam ini merupakan bagian da-ri surat al-Ahzab.
3. Nasakh al-hukm wa al-tilawah ma’an, yakni baik teks atau hukumnya dihapus, misalnya a-yat
tentang sepuluh susunan yang diharamkan.
5.2 Nasakh
al-Qur’an bi al–Sunnah
Nasakh jenis
ini terbagi pada dua macam, yaitu nasakh
al-Qur’an dengan hadist mutawatir.
Mayoritas ulama menyatakan nasakh al-Qur’an dengan sunah yang ‘ahad itu tidak boleh,
sebab sunah yang adah itu bersifat dzonny, sedangkan al-Qur’an bersifat qot’i
dan yang dzonny tidak dapat menghapus yang qot’i, akan tetapi
para ulama berbeda pendapat dalam nasakh jenis kedua ini, sebagaian
ulama as-Syai’i, Ahmad dan ahli al-Zhair
berpendapat “tidak boleh”
dengan alasan QS. 2: 106, menurut mereka meskipun mutawatir, sunnah itu tidak lebih ba-ik dibanding dengan al-Qur’an
atau sebanding dengan al-Qur’an.
Sebagian lain seperti imam Malik dan Abu Ha-nifah memperbolehkannya
karena, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah merupakan wahyu A-llah SWT. (QS.
al-Najm: 3).18 Adapun contoh-nya adalah (QS. al-Baqarah: 180)
dihapus oleh hadist :
لاومية الو ارس
5.3 Nasakh
al–Sunnah bi al-Qur’an
Mayoritas ulama menyatakan bahwa, nasakh
al-Sunnah dengan al-Qur’an itu boleh, contoh pemindahan kiblat shalat, yang
pada awalnya sunnah menetapkan agar menghadap Bait al-Maqdis, kemudian dinasakh oleh QS.
2:44 yang menetapkan Ka’bah sebagai kiblat shalat.
5.4 Nasakh
al-Sunnah bi al-Sunnah
Nasakh
sunnah dengan sunnah ini terbagi empat macam, yaitu nasakh sunnah
dengan mutawatir dengan yang mutawatir juga, menasakh sunnah
yang ahad dengan yang ahad juga, menasakh sunnah yang ‘ahad
dengan yang mutawatir, dan menasakh sunnah yang mutawatir
dengan yang ‘ahad.
Tiga macam nasakh yang pertama telah disepakati
kebolehannya oleh jumhur ulama. Adapun macam yang keempat, para ulama berselisih
pendapat, tetapi mayoritas cenderung mentidakbolehkannya. Hal ini
sebagaimana telah dikemukakan bahwa salah satu syarat terjadi nasakh itu
adalah yang nasakh harus sebanding atau lebih kuat dari yang mansukh.
Sedangkan menasakh sunnah yang mutawatir oleh yang ahad
adalah berarti yang lemah me-nasakh yang kuat.
3. Pendapat
Ulama Tentang Nasakh
Pembahasan tentang nasakh mansukh yang muncul
dalam kajian ilmu tafsir dan merupakan masalah yang mengundang perdebatan di
kalangan para ulama. Kontroversi yang timbul berawal dari bagaimana memahami
dan menghadapi ayat-ayat al-Qur’an yang pada lahirnya saling bertentangan.
3.1 Ulama
yang Berpendapat Adanya Nasakh
Jumhur ulama antara
lain Imam Syafi’ie berpendapat bahwa dalam al-Qur’an ada nasakh mansukh.
Golongan ulama ini mengajukan argument aqli dan naqli untuk menyatakan adanya nasakh itu.
- Secara rasional tidak ada halangan untuk terjadinya nasakh, sebab (a) Allah SWT Syari (pembuat syara) bertindak sesuai kehendak-Nya. Dia-lah berkehendak untuk menetapkan hukum atau untuk menghapuskannya, tetapi hal ini tidak berarti Tuhan itu main-main atau dzalim, sebab hal ini mustahil. (b) Hukum-hukum Allah dibuat untuk kemaslahatan manusia. Apabila ada nilai maslahat, maka Tuhan menetapkan hukumnya, kemudian hukum itu akan dihapuskan (di-nasakh) apabila sudah ti-dak maslahat lagi dan akan diganti dengan hukum yang lain.
- Seandainya nasakh itu tidak ada, maka syariat Allah terdahulu tetap berlaku sampai sekarang dan dengan demikian nyariat Nabi Muhammad SAW tidak kaffah untuk seluruh manusia.
- Dalam al-Qur’an ditemukan ayat yang menya-takan adanya nasakh. Seperti “Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. al-Baqarah:106).
3.2 Ulama yang
Tidak Mengakui Adanya Na-sakh
Diantara para ulama yang menentang adanya nasakh dalam al-Qur’an adalah Abu Muslim
al-Asfahani. Akhir-akhir ini panda-pat beliau diikuti oleh beberapa ulama terkenal,
seperti Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridla, Muhammad al-Ghajali, Dr.
Taufiq Sidqy dan Kudlari Bieq. Para ulama yang menentang nasakh itu menga-jukan beberapa argumen,
antara lain:
- Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan teori nasakh perlu diteliti kembali penafsirannya. Menurut Muhammad Abduh QS. 2:106 tidak berbicara tentang penghapusan al-Qur’an, tetapi berkenaan dengan penggantian mu’jizat. Kata “ayat” dalam ayat ini berarti mu’jizat yang menjadi bukti ke-benaran para Rasul. Allah berkuasa menghapus mu’jizat Rasul terdahulu dan menggantinya dengan mu’zijat yang lebih baik atau sebanding untuk Rasul sesudahnya. Di samping itu ayat tersebut ditujukan kepada orang Yahudi yang mengingkari al-Qur’an atau merujuk pada wahyu yang diturunkan sebelum al-Qur’an, artinya hukum-hukum yang terdapat dalam kitab-kitab sebelum al-Qur’an, diganti dengan yang lebih baik yaitu al-Qur’an.
- Konteks QS. 23:39 berbicara tentang adanya kelompok-kelompok (al-Az-hab) yang mengingkari kerasulan Muhammad SAW dan sebagian dari kitab yang diwahyukan kepadanya. Terhadap oposisi semacam ini, Tuhan menghibur Nabi dan mendorongnya agar tetap konsisten pada tugasnya. Selanjutnya Allah menegaskan kekuasaan-Nya dalam mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab (QS. 13:36-43) dalam konteks kekuasaan Tuhan inilah, Allah menegaskan Dia berkuasa menghapus dan menetapkan kitab. Jadi dari uraian di atas, ayat-ayat yang dijadikan dasar adanya nasakh sama sekali tidak berkaitan dengan apa yang dimaksud teori nasakh itu sendiri.
- Jika dalam al-Qur’an ada ayat yang man-sukh, berarti dalam al-Qur’an ada kesalahan yang saling berlawanan, padahal al-Qur’an sendiri telah menegaskan: “Tidak datang kepadanya al-Qur’an kebatilan, baik dari depan maupum dari bela-kang…” QS. 41: 42. Ayat ini menurut Muslim al-Afshani menegaskan bahwa al-Qur’an tidak disentuh oleh “pembatalan” dan dengan demikian nasakh diartikan sebaga pembatalan, maka jelas ia ti-dak terdapat dalam al-Qur’an.
- Nabi SAW selama hidup tidak pernah menjelaskan ada dan tidaknya nasakh dalam al-Qur’an. Seandainya memang telah terjadi nasakh dalam al-Qur’an tentu Nabi pemegang otoritas dari al-Qur’an telah menjelekkannya. Menurut Ah-mad Hasan, sebagaimana dikutip Adnan Amal, konsep nasakh itu mungkin muncul ketika para penafsir dan fuqaha tidak mampu mendamaikan ayat-ayat yang nampaknya bertentangan.
- Hadist-hadist yang dikatakan oleh pendukung nasakh dinilai sebagai penasikh ayat al-Qur-’an, seperti hadist yang mengatakan “Tidak ada wasiat bagi penerima waris” (HR. Bukhari, Abu Dawud, al-Tarmizi, al-Nasai, Ibnu Majah, Daruquthni, Ahmad bin Hambal) bukan hadist mutawatir, melainkan hadist ‘ahad tidak punya kualifi-kasi untuk menjadi hujjah dalam menetapkan sesuatu.
- Di kalangan ulama pendukung nasakh sendiri tidak ada kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat yang mansukh. Misalnya menurut an-Nuhas terdapat 100 lebih ayat yang mansukh. Ini ber-arti ada sebagian ayat yang oleh sebagian ulama dipandang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan oleh ulama yang lain.
- Ikhtilaf kedua kelompok ulama di atas, masing-masing berdasar pada alasan yang argumentatif;
- Ikhtilaf tersebut di atas merupakan bahan menarik untuk dijadikan bahan kajian bagi generasi berikutnya sehingga dapat mengundang kemampuan aplikasi teori dan metodologi filsafat yang digelutinya;
- Menyadarkan kepada kita generasi modern bahwa generasi dahulu (klasik) pun telah berfikir secara modern, terlebih atas dorongan kemampuan berfilsafat, oleh karenanya terbuka peluang bagi kita untuk lebih jauh mendayungkan perahu filsafat dalam samudra ulumul Qur’an, sebagaimana dikatakan oleh al-Mukarom Dr. H. A. Chozin Nasuha, MA: “…bila perlu kita babat teori ulumul Qur’an yang sudah tidak relevan lagi dengan teori baru”, seperti yang dilakukan Muhammad Arkoen. Oleh karena teori ulumul Qur’an (produk manusia) tidak boleh sakral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar