Kamis, 12 Juli 2012

TAFSIR, TA'WIL DAN METODENYA


Definisi Tafsir dan Ta'wil
Secara etimologi kata tafsir berasal dari kata fassara, yufassiru, berarti menjelaskan atau me-nyingkap sesuatu yang tertutup. Dalam bahasa Indonesia kata tafsir diartikan dengan keterangan atau penjelasan tentang ayat‑ayat al‑Qur’an.
Secara terminologi kata tafsir sebagaimana di-definisikan oleh Abu Hayyan adalah ilmu yang membahas tentang cara pe-ngucapan lafazd-lafazd al‑Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika tersusur, serta hal‑hal lain yang melengkapinya. Sedangkan menurut az-Zarkasyi; tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Secara singkat tafsir al‑Qur’an adalah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar dipahami dari ayat-ayat al‑Qur’an. Ta’wil kalam secara istilah mempuyai dua makna :
Pertama : Ta’wil kalam, yaitu sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan.
Kedua Ta’wil kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Pengertian inilah yang di-maksud Ibn Jarir, at‑Tabari dalam tafsirnya de-ngan kata-kata: pendapat tentang ta’wil, firman Allah ini..… begitu dan begitu, dan kata-kata ahli ta’wil berbeda pendapat tentang ayat ini. Jadi yang dimaksud dengan kata ta’wil disini adalah tafsir .
Kaum mutaakhirin memberikan definisi ta’wil dengan memalingkan makna lafazd yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada dalil yang menyertainya. Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata ter-sebut.                                                                                          
Berikut beberapa pendapat terpenting tentang hal tersebut sebagaimana yang diuraikan oleh Ma-nna Khalil Qattan.
  1. Apabila kita berpendapat, bahwa ta’wil ada-lah menafsirkan perkataan dan menjelaskan mak-nanya, maka ta’wil dan tafsir adalah dua kata yang berdekatan dan sama maknanya.
  2. Apabila kita berpendapat ta’wil adalah esen-si yang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta-’wil dari thalab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan ta’wil dari khabar adalah esensi sesuatu yang diberitakan. Dari sini dapat dilihat perbedaan yang cukup besar antara tafsir dengan ta’wil, sebab tafsir merupakan syarat dan penjelas bagi suatu penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya. Se-dangkan ta’-wil ialah esensi sesuatu yang berada dalam realita (tidak dalam pikiran).
  3. Jika dikatakan tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam al-Qur’an atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang shahih karena maknanya jelas dan gamblang. Sedang ta’wil adalah apa yang disimpulkan oleh para ulama. Sebagian ulama mengatakan, tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat, sedang ta’wil lebih banyak dipakai untuk menjelaskan makna dan susunan kalimat.
 Metode Tafsir
Seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman, kajian­-kajian tentang al-Qur’an dengan berbagai macam corak metodologinya juga mengalami perkembangan. Hal itu dimungkinkan karena al‑Qur’an terbuka dan dapat menerima penafsiran. Begitu luas kandungan makna al‑Qur’an, sehingga ia ibarat lautan yang tak bertepi seperti mutiara yang setiap ujung­-ujungnya dapat memancarkan berbagai ragam cahaya.
Munculnya beragam pemahaman yang berbeda tentang kandungan al‑Qur’an disebabkan perbedaan metode yang digunakan untuk mengkaji al‑Qur-’an. Kata metode berasal dari  bahasa yunani ”methods” yang berarti maksud atau jalan 
Dalam bahasa Arab, kata metode biasa disebut dengan thariqoh atau manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, metode diartikan: cara yang teratur dan terpikir baik‑baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang bersistem, untuk memudahkan pelaksa-naan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Pengertian metode tersebut di atas dapat digu-nakan pada berbagai objek, baik yang berhubu-ngan dengan pemikiran dan penalaran akal atau menyangkut pekerjaan fisik. Dengan demikian studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode ini, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud Allah SWT di dalam ayat‑ayat al-Qur’an yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan metode tafsir adalah pembahasan ilmiah dan konseptual tentang metode-metode penafsiran al-Qur’an.
Dalam sejarah perkembangan tafsir, para ulama membagi tafsir menjadi dua macam: Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir bir Ra’yi.
Tafsir bil Ma’tsur
Metode tafsir ini adalah jenis penafsiran yang pertama kali lahir. Metode penafsiran seperti ini adalah ayat yang terdapat di dalam al‑Qur’an ditafsirkan dengan ayat lain, biasanya disebut tafsir Qur’an dengan Qur’an, atau dengan riwayat dari Rasulullah SAW, para sahabat dan juga dari para tabi’in.
Metode tafsir yang dipandang paling tepat adalah menafsirkan al‑Qur’an dengan ayat al‑Qur’an itu sendiri. Sesuatu yang disebutkan secara global di dalam suatu ayat boleh jadi telah dirinci dalam ayat yang lain. Sesuatu yang disebut secara ring-kas dalam sebuah ayat, boleh jadi telah diceritakan panjang lebar dalam ayat lainnya. Contoh tafsir al‑Qur’an dengan ayat al-Qur’an adalah kalimat al-dzolam (kezhaliman) yang disebutkan dalam surat al‑An’am ayat 82 yang berbunyi :

الذين امنوا ولم يلبسوا إيماكم بظالم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون    
“Orang‑orang yang beriman dan tidak mencam-pur-adukan keimanan mereka dengan kezhaliman, mereka inilah orang-orang yang mendapatkan ke-imanan dan mereka mendapat petunjuk”.
Dalam surat Luqman ayat 13 Allah SWT menjelaskan, bahwa syirik termasuk kezhaliman:

يا بنى لا تشرك بالله إن الشر ك اظلم عظيم
“Hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah ada-lah kezhaliman yang besar.
Dari sini jelas bahwa yang dimaksud dengan. tidak mencampuradukan keimanan dengan kezhaliman yang disebutkan dalam surat al‑An’am tadi adalah tidak mencampuradukkan dengan dosa syirik.
Jika tidak ditemukan ayat lain yang menerang-kan maksudnya, maka dapat ditinjau apakah ada hadits shahih dari Rasulullah yang menerangkan-nya, sebab hadits Nabi adalah penjelas dari apa yang tertuang di dalam al‑Qur’an. Allah SWT ber-firman :
وأنزلنا إليك الذ كرلتبين الناس مانزل إليهم
“Dan kami turunkan kepadamu al‑Qur'an agar kamu menjelaskan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada  mereka. (an‑Nahl: 44)
Diantara contoh tentang tafsir al‑Qur’an de-ngan hadits Nabi adalah tafsir Shalahil Wushta yang disebutkan dalam surat al‑Baqarah ayat 238 dimana Rasulullah SAW menjelaskan bahwa yang dimaksud Shalatul Wuhta adalah Shalat Ashar.
Jika tidak ditemukan hadits Nabi yang menerangkannya maka dapat dilihat apakah ada para sahabat Nabi yang menafsirkannya. Sebab para sahabat dianggap lebih paham dan lebih mengetahui maknanya, karena mereka secara langsung telah menyaksikan penerapannya di zaman Rasul. Mereka juga mengetahui asbabun nuzul ayat‑ayat tersebut, terutama para sahabat yang banyak belajar secara langsung dari Rasulullah SAW, seperti Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali).
Contoh tafsir al‑Qur’an dengan ucapan para sa-habat, seperti kata dalam surat al-Baqarah ayat 191 dan 193 yang berbunyi :
والفتنة أشدّ من القتل
“Fitnah lebih jahat dari pada pembunuhan”, dan Firman Allah SWT:
وقاتلوهم حتى لا يكون فتنة
“Dan perangilah mereka, hingga tidak ada lagi fitnah”.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan fitnah  pada ayat tersebut ialah syirik.
Jika tidak ditemukan seorang sahabat pun yang menafsirkannya, maka tafsir para tabi’in dapat dijadikan rujukan seperti mujahid bin abr, Said bin Jubair, Abul Aliyah ar‑‘Rabi bin Anas dll.
Contoh tafsir tabi’in seperti firman Allah SWT tentang kata hikmah:
ربان وابعث فيهم رسولا منهم يتلواعليهم اياتك ويعلمهم الكتاب واللحكمة

“Ya Tuhan kami, bangkitkanlah diantara mereka seorang Rasul dari kaum mereka yang memba-cakan kepada mereka firman-firman-Mu dan me-ngajarkan kepada mereka al‑kitab dan al‑hik-mah”. (al-Baqarah 129).
Al‑Hasan al‑Bashir, Qatadah, Muqatil, Abu Malik dan tabi’in lainnya menafsirkan kata hikmah tersebut dengan sunna. Para ulama berbeda pen-dapat sekitar tafsir para tabi’in tadi, apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak. Sebagian mereka menggolongkannya kepada tafsir ma’tsur, sedang sebagian lagi mengkatagorikannya sebagai pen-dapat saja (ra’yu). Akan tetapi kebanyakan para ahli tafsir cenderung menggunakan qaultabi’in di dalam menafsirkan suatu ayat, karena mereka ba-nyak mendapatkan penafsiran ayat dari para saha-bat.
Tafsir bil Ra’yi (Akal)
Dari segi bahasa ra’yu berarti keyakinan, analogi dan ijtihad. Orang‑orang yang melakukan a-nalogi biasanya disebut Ahlu Rayi. Karena mereka mengatakan sesuatu sesuai dengan pendapat (ra’yu) mereka, pada saat mereka tidak mendapatkan dalil yang berupa hadits maupun atsar.
Yang dimaksud dengan tafsir bil ra’yi adalah penafsiran al‑Quran dengan ijtihad. Tafsir jenis ini muncul sebagai sebuah metologi pada periode mutakhir munculnya tafsir bil ma’tsur. Para ulama sendiri berseisih pendapat tentang tafsir bil ra’yi ini. Ada diantara mereka yang melarangnya. Mereka yang melarangnya berlandaskan pada firman Allah SWT :

ولا تقف ماليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كلّ أولئك كن عنه مسؤلا
“Janganlah kamu ucapkan sesuatu yang kamu ti-dak memiliki pengetahuan tentangnya. Karena se-sungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati akan ditanya tentang hal itu.” (al‑Isra: 36)

Dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda :

من قال في القران بغيرعلم فليتبو أمقعده مت النار
“Barang siapa yang berkata tentang  al-Qur’an tanpa llmu, maka ia telah  menyiapkan tempatnya di neraka”. (HR. Tirmizi).
Sedangkan mereka yang membolehkan peng-gunaan ra’yu dalam tafsir berdasarkan dalil bahwa apa yang terkandung dalam al-Qur’an merupakan perintah dan anjuran untuk melihat dan berfikir tentang isi kitabullah dan mereka menyikapi lara-ngan hadits tersebut dengan berbagai pandangan, serta menafikan larangan tersebut sebagai larangan yang bersifat mutlak. Mereka juga mengatakan bahwa larangan tersebut berlaku bagi mereka. Me-reka yang menafsirkan sesuatu yang belum jelas dari al‑Qur’an dengan mengandalkan akal semata tanpa dalil dan tanpa menggunakan perangkat-pe-rangkat tafsir lain yang menjadi persyaratan bagi para ahli tafsir seperti, penguasaan terhadap baha-sa Arab dan ilmu‑ilmu berkait dengannya, Ulumul Qur‘an, sejarah, Fiqih, Ushul Fiqih, Ilmu Aqa’id, Sejarah Hidup Nabi dan lain‑lain.
Bertolak dari uraian tersebut di atas, tafsir bil ra’yi dapat dibagi menjadi dua:
  1.  Tafsir bil ra’yi yang diperbolehkan, yaitu yang dilakukan orang-orang yang memenuhi syarat sebagai mufassir sebagaimana disebut di atas, dan hasil-hasil penafsirannya tidak boleh bertentangan dengan syariat.
  2.  Tafsir bil ra’yi yang dilarang, yaitu yang dilakukan orang‑orang yang belum memenuhi persyaratan menjadi ahli tafsir, sehingga hasil penafsi-rannya bertentangan dengan hakikat syariat.
 Kaidah Tafsir
Kata kaidah berasal dari bahasa Arab yang ber-arti asas, dasar, pedoman atau prinsip. Sedangkan tafsir sebagaimana yang  telah dijelaskan adalah keterangan atau penjelasan mengenai makna‑mak-na al-Qur’an sebagai wahyu Allah. Karena itulah yang dimaksud dengan kaidah tafsir adalah dasar-dasar pedoman­-pedoman, prinsip-prinsip atau kai-dah-kaidah yang digunakan agar isi atau kandu-ngan serta pesan‑pesan al-Qur’an dapat ditangkap dan dipahami secara baik sesuai dengan tingkat ke-mampuan.
Ada beberapa komponen kaidah penafsiran al-Qur’an sebagaimana yang dikemukakan Quraisy Shihab:
1.   Ketentuan‑ketentuan dalam menafsirkan al-Qur’an
2.   Sistematika penafsiran
3.   Aturan‑aturan khusus yang membantu mema-hami ayat‑ayat al-Qur’an, seperti bahasa, usul fiqh, dll.

Macam Kaidah Penafsiran Al-Qur’an
      Sedikitnya ada tiga kaitan yang berlaku dalam menafsirkan al‑Qur’an, yaitu Kaidah Dasar, Kaidah Syar’i dan Kaidah Kebahasaan.
  1. Kaidah Dasar Penafsiran, yang mencakup kaidah dasar penafsiran disini mencakup penafsiran al‑Qur’an dengan Hadits Nabi, penafsiran al-Qur’an dengan pendapat sahabat, penafsiran al-Qur’an dengan pendapat tabi’in.
  2.  Kaidah Syar’i, penafsiran al‑Qur’an bisa menggunakan kaidah syar’i jika sumber pertama seperti yang terdapat dalam kaidah dasar tidak ditemukan melalui ijtihad dan istinbat. Yang dimaksud dengan kaidah syar’i diantaranya: Muqayyad, Mujmai dai Mufa-shol dan sebagainya yang biasa dikenal oleh kala-ngan ulama ushul.
  3.  Kaidah Kebahasaan, Al‑Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, maka mengetahui kaidah‑kaidah bahasa Arab akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat al‑Qur-’an. Kaidah-kaidah yang dimaksud mencakup : Kaidah Isim dan Fi’il, Kaidah Amr dan Nahil, Kaidah Istifham, Kaidah Dhamir, Kaidah Mufrad dan Jama’, Kaidah Muzakkar dan Mu’annast, Ka-idah Taqdim dan Takhir dan sebagainya.
Tingkat kebenaran dengan menggunakan kai-dah kebahasaan tidak sevalid kebenaran penafsiran dengan menggunakan kaidah-kaidah dasar, sebab penafsiran tersebut menggunakan daya nalar (ij-tihad).
Kaidah‑kaidah tafsir, baik yang berupa kaidah dasar, kaidah syar’i dan kaidah‑kaidah kebahasaan, diperlukan untuk menghindari penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an
 Ketentuan Menafsirkan Al‑Qur'an
  1. Seorang mufassir harus memiliki kepribadian mulia, memiliki dasar-dasar keimanan yang mantap dan jiwa yang bersih.
  2.  Seorang mufassir harus mengetahui dan menguasai Ilmu Bahasa Arab dan cabang-cabangnya.
  3.  Seorang mufassir harus mengetahui pokok‑pokok ulumul Qur’an, seperti Ilmu Qira'af, Ilmu Asbabun Nuzul, Ilmu Nasakh Mansukh, Ilmu Muhkam Mutasyabihat, dan madani dan sebagainya.
  4. Seorang mufassir harus menempuh langkah-langkah sistematis dalam menafsirkan al‑Qur’an agar menghasilkan penafsiran yang baik dan benar. Sistematika penafsiran tersebut diawali dengan mengetengahkan asbabun nuzul ayat, arti kosa kata, menerangkan susunan kali-mat, aspek‑aspek balagh-nya, Arabnya dan sebagainya. Kemudian menjelaskan makna generik dan spesifik dan mengkaitkannya dengan situasi dan kondisi umum yang tengah dihadapi umat saat itu. Langkah berikutnya adalah menarik kesimpulan hukum yang terkandung dalam makna-maknanya.
  5. Dalam menafsirkan ayat‑ayat al-Qur’an, seorang mufassir hendaknya mengambil rujukan dari tafsir‑tafsir yang mu’tabar untuk dianalisis secara kritis dan dikeriparasikan dengan tafsir-tafsir lainnya.
  6. Upaya lain untuk menghindari terjadinya penyimpangan penafsiran adalah dengan mengetahui biografi Nabi SAW. Karena biografi beliau tidak dapat dipisahkan dari al-Qur’an, bahkan dapat dikatakan kehidupan beliau mirip personifikasi bagi pemahaman dan penafsiran al-Qur’an sehingga dapat dilihat wujud pengamalannya oleh umat dalam prilaku dan aktifitas keseharian Rasulullah SAW, baik secara indi-vidual, berkeluarga maupun bermasyarakat dan berbangsa.
 Penutup 
Demikian sekelumit tentang seluk-beluk metode menafsirkan al‑Qur’an. Sebenarnya masih banyak lagi jenis dan metode‑metode tafsir al‑Qur’an lainnya yang tersebar dalam banyak buku dan ulama tafsir. Sebagai penutup dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  • Rujukan pertama dalam menafsiran al-Qur’an adalah nash al-Qur’an itu sendiri, kemudian hadits Nabi, tafsir sahabat dan selanjutnya taf-sir tabi’in.
  •  Jika para tabi’in berbeda pendapat dalam menafirkan al-Qur’an, maka dilihat siapakah yang lebih dekat kepada kebenaran dengan indikasi-indikasi yang ada. Jika mereka bersepakat, maka kesepakatan mereka dapat dijadikan hujjah.
  • Dilarang menafsirkan al‑Qur’an dengan menggunakan akal (ra’yu) semata, tanpa disertai dengan ilmu‑ilmu lain yang menjadi perangkat bantu dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.
  •  Untuk dapat memahami dan menafsirkan al-Qur’an dengan benar dibutuhkan juga penguasaan teori atau kaidah‑kaidah penafsiran, tanpa itu tidak mustahil penafsiran akan keliru.
  •  Metoda penafsiran bertujuan menuntun para mufassir memahami ayat‑ayat al-Qur’an secara benar, tidak membelenggu pemikiran mereka.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar