Minggu, 15 Juli 2012

PERIWAYATAN HADITS DENGAN LAFAL DAN MAKNA


Kata al-riwayat bentuk mashdar dari kata rawa, secara bahasa berarti al-naql (penulisan), al-dzikr (penyebutan), al-fatl (pintalan), dan al‑istiq’ (pemberian minum). Kata ini agaknya sudah masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, yang kemudian diartikan dengan cerita, sejarah, dan tambo.
Dalam istilah ilmu hadits, al-riwayat diartikan sebagai kegiatan menerima dan menyampaikan hadits dengan menyandarkan hadits itu kepada rangkaian para pembawanya. Artinya bahwa dalam melakukan al-riwayat terdapat tiga unsur kegiatan yaitu, 1) kegiatan menerima hadits; 2) kegiatan menyampaikan hadits; dan 3) kegiatan menyebutkan para pembawa hadits.
Tiga kegiatan ini sering diistilahkan dengan al-tahammul wa al‑ada’  (menerima dan menyampai-kan hadits).
Dalam melakukan kegiatan al-riwayat, setidaknya ada empat hal yang selalu terkait di dalamnya. Yaitu al-rawi (orang yang melakukan periwayatan hadits), al­-marwi (sesuatu yang diriwayatkan oleh rawi), dan sanad atau isnad (susunan dan rangkaian para pembawa hadits), serta matan (teks hadits). Al‑Tahammul, kegiatan menerima hadits yang dilakukan oleh seorang rawi, dapat dilakukan melalui delapan cara, yaitu :
  1. Al‑samdmin lqfdl al-syaikh (murid mendengar langsung bacaan seorang guru hadits), 
  2.  Al‑qirdah ‘ala al-syaikh (murid membaca hadits di depan guru), 
  3.  Al‑ijazah (guru memberikan ijin kepada murid untuk meriwayatkan hadits yang berasal dari gurunya, atau kitab yang dikarangnya)
  4.  Al-munawalah (seorang guru menyerahkan kitab atau lembaran catatan hadits kepada muridnya agar diriwayatkan dengan sanad darinya)
  5.   Al­-mukatabah (guru menulis hadits lalu mengi-rimkannya kepada murid),
  6. Al-i’lam (guru memberi tahu kepada murid bahwa kitab atau hadits yang ditunjuk adalah idtab atau hadits yang telah didengarnya dari seseorang, tanpa disertai ijin periwayatan kepadanya), 
  7.  Al‑washiyyah (seorang muhaddist berwasiat kepada seseorang agar kitab-kitabnya diserahkan kepadanya ketika muhadits itu meninggal dunia),
  8.  Al-wijadah (seseorang menemukan suatu hadits atau kitab hasil tulisan orang lain lengkap dengan sanad-nya).

Kedelapan cara ini turut menentukan kualitas sanad. Yang jelas bahwa penerimaan hadits yang diperoleh melalui cara pertama sampai kelima, secara umum memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding melalui cara yang berikutnya.
Tatacara penerimaan hadits seperti ini tidak hanya terjadi di kalangan sahabat dan tabi’in tetapi juga generasi‑generasi berikutnya. Perlu dikemukakan disini bahwa secara umum kepatuhan sahabat dan tabi’in terhadap Nabi lebih tinggi dari pada kelompok yang lain. Kepatuhan ini terjadi dalam segala hal, termasuk juga, dalam memahami hadits. Dalam arti bahwa teks hadits yang datang dari Nabi diterima dan diceritakan kembali sebagaimana teks aslinya, tanpa mengurangi dan menambahkan sedikitpun. Bahkan ada beberapa diantara mereka yang memilih “diam” dan tidak bayak meriwavatkan hadits daripada menyampaikan hadits tetapi tidak sesuai dengan redaksi aslinya. Pilihan itu dilakukan demi menjaga otensitas teks hadits.
Diceritakan oleh Ibnu Qutaibab bahwa Umar sangat benci pada orang banyak meriwayatkan hadits. Bahkan tidak jarang ia menganjurkan orang lain seperti dirinya, yaitu tidak banyak meriwayatkan hadits. Demikian juga Abu Bakar, Zubair, Abu ‘Ubaidah, Abbas bin Abd al‑Muthalib dan mayoritas sahabat, umumnya mereka sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits. Mereka takut kalau-kalau tanpa disadari mereka memasukkan sesuatu yang semestinya bukan hadits, tetapi dianggap sebagai hadits oleh seseorang di kemudian hari. Jika ini benar‑benar terjadi, maka mereka turut memberikan andil memasukkan informasi palsu ke dalam ajaran agama. Tentu ini merupakan sesuatu yang tidak mereka inginkan sama sekali.
Periwayatan Hadits dengan Lafal
Karena adanya rasa takut seperti itu, maka jika mereka merasa harus menyampaikan hadits (redaksi atau teks hadits), cara periwayatan mereka umumnya diungkapkan dalam bentuk lafalnya (teks aslinya) persis seperti yang mereka terima dari Rasulullah. Mereka tidak berani merubah sedikitpun redaksi hadits meskipun dengan sekedar mengganti huruf yang satu dengan huruf lainnya, menukar kata yang satu dengan kata lain yang semakna, atau juga merubah urutan kalimatnya. Cara periwayatan seperti ini merupakan konsekuensi dari rasa tanggung jawab mereka yang demikian besar perlunya keotentikan sebuah hadits. Apalagi mereka menyadari betul bahwa hadits adalah wahyu juga seperti halnya al‑Qur’an. Tentunya hadits harus dijaga dari kepalsuan‑kepalsuan. Meriwayatkan hadits tanpa mengadakan perubahan redaksinya sedikitpun merupakan suatu cara menjaga dan melestarikan kemumian sumber dan ajaran Islam itu sendiri.
Menurut mereka, melindungi hadits dari kepalsuan‑kepalsuan haruslah dilakukan sejak awal dan dilakukan mulai dari kalangan sahabat sebagai generasi pertama pemegang estafet bendera Islam setelah Rasulullah meninggalkan mereka semua.
Berikut ini akan dikemukakan bagaimana sikap para sahabat Nabi dan ahli hadits ketika menyampaikan hadits. Diceritakan bahwa Umar bin al-Khathab pernah berkata: “barang siapa mendengar hadits lalu menyampaikan hadits itu sesuai yang ia dengar, maka ia akan selamat”.
Ucapan senada juga dikatakan Ibnu ‘Umar, anaknya, dan Zaid bin Arqam. Bahkan suatu saat Ibnu ‘Umar ketika membacakan hadits lalu orang yang ada disampingnya menirukan hadits itu dengan sedikit perubahan, yaitu menyebut rukun puasa sebelum rukun haji, Ibnu ‘Umar segera berkata: “Jangan-jangan sebutkan rukun puasa setelah haji karena begitulah aku mendengar dari Rasulullah”.
Malik bin Anas juga tercatat sebagai sebagai seorang yang sangat hati‑hati ketika menyampaikan hadits. la tidak mau merubah sedikitpun susunan hadits yang sampai kepadanya. Persoalan yang kemudian muncul adalah bahwa tidak semua orang memiliki hafalan yang baik dan sempurna. Masyarakat Arab memang dikenal memiliki hafalan yang istimewa. Mereka sanggup menghafal puluhan ribu hadits dan nama-nama perawi haditsnya. Mereka juga sanggup menghadirkan hafalannya kapan saja dan di mana saja. Bagi yang memiliki keistimewaan seperti ini agaknya mudah saja mereka meriwayatkan hadits dengan redaksi yang sama persis dengan yang diterimanya dari Rasulullah. Persoalannya adalah bahwa keistimewaan seperti itu agak-nya tidak dimiliki sepenuhnya oleh setiap orang meski mereka telah masuk Islam dan banyak mendengar hadits. Oleh karena itu muncul gagasan meriwayatkan hadits dengan makna, karena bagaimanapun hadits harus tersebar ke seluruh pelosok dunia Islam dan tidak boleh mengalami stagnan gara-gara tidak dapat menghadirkan hadits sesuai dengan teks aslinya.

Meriwayatkan Hadits dengan Makna
Sungguhpun demikian, tidak semua ahli hadits bersikap seperti di atas. Juga tidak semua hadits, selalu diceritakan dengan susunan kata dan ungkapan kalimat dalam bentuk teks aslinya seperti yang disabdakan Rasul. Buktinya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Muhammad bin Sirin, jika menyebutkan hadits, diakhiri dengan kata-kata dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa hadits yang mereka sampaikan tidak sama persis susunan kali-matnya dengan yang disampaikan Rasul. Mereka agaknya lebih mementingkan isi dari pada teks hadits itu sendiri. Sikap yang sama juga terlihat pada diri ‘Aisyah. Menurut penuturan ‘Urwah bin Zubair, ‘Aisyah tidak mempermasalahkan orang yang meriwayatkan hadits dengan maknanya. Bah-kan Ayyub pernah mendengar Muhammad bin Sirin berkata: “kalau aku mendengar sebuah hadits dari 10 orang, kemungkinan mereka akan menyampaikan hadits itu dengan susunan yang berbeda, meskipun maknanya sama”.
Hal serupa juga terjadi pada Zirarah. Diceritakan bahwa Qatadah pernah mendengar Zirarah bin Abi Aufa berkata: “saya berguru dengan se-jumlah sababat Nabi tentang hadist, semuanya menyampaikan hadist dengan redaksi yang berlainan meskipun maknanya sama”. Pernyatan senada juga datang dari Jarir bin ‘Razim dan ‘Imran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa periwayatan hadits dengan makna telah dilakukan sejak awal, yaitu sejak masa sahabat. Nama‑nama berikut ini adalah kelompok yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan makna, yaitu: Ibn Mas’ud, Abu al‑Darda’, Anas bin Malik, ‘Aisyah, ‘Amar bin Dinar, ‘Amir al‑Sydbi, Ibrahim al‑Na-kha’i, Ibn Abi Nujaih, ‘Amr bin Mur-rah, Ja’far bin Muhanmiad bin ’Ali, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Yahya bin Sidiq al-Qatthan.

Pandangan Ulama tentang Periwayatan Hadits dengan Makna
Sesungguhnya, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa orang yang tidak ahli di bidang hadits, tidak mengetahui struktur lafal dan kalimat bahasa Arab, dan tidak paham terhadap makna suatu hadits, tidak boleh meriwayatkan dan menceritakan hadits kecuali dengan lafal yang didengarnya.
Karena bila ia meriwayatkan hadist tidak dengan lafalnya, memungkinan berbuat sewenang-wenang dengan mengatasnamakan agama dan mengatasnamakan Allah dan Rasulullah. Bila ini tadi tentu merupakan sesuatu yang sangat membahayakan bagi kemurnian ajaran Islam itu sendiri. Demi menjaga keotentikan dan kebenaran hadits, orang semacam ini dilarang menyampaikan hadits kecuali dengan lafal yang sama persis dengan yang didengarnya dari orang lain. Dalam hal ini, Imam Syafi’i sebagaimana dikutip Muhammad Ali Khathib mengatakan, bahwa orang yang meriwayatkan hadits dengan maknanya sementara dia tidak tahu makna‑makna hadist itu, sangat boleh jadi dia akan menghalalkan yang haram.
Tetapi bagi orang yang ahli di bidang hadits, mengetahui secara tepat struktur lafal dan kalimat bahasa Arab, dan memahami betul makna yang terkandung dalam sebuah teks hadits, tentang boleh‑tidaknya meriwayatkan hadits degan makna para ulama berbeda pendapat. Ulama salaf dari kalangan ahh hadits dart fiqh secara tegas melarang meriwayatkan hadits dengan makna. Kalaupun boleh maka itu karena keterpaksaan (darurat). Dalam arti ia sedang mengalami kesulitan menghadirkan hafalan teks aslinya, di saat harus menyampaikan hadits. Pernyataan ini dikemukakan oleh Imam Mawardi, sebagaimana dikutip Affaj Khathib, yang mengatakan bahwa kalau bukan karena lupa teks aslinya, maka tidak boleh meriwayatkan hadits dengan maknanya. Sebab, kata Imam Mawardi, letak fashahnya suatu bahasa ada pada buku teks hadits itu sendiri, dan bukan pada maknanya meskipun diungkapkan dengan bahasa Arab juga. Tetapi jika benar‑benar lupa, sementara keadaan mendesak untuk menyampaikan hadits, wajib hukumnya, menurut Imam, Mawardi, meriwayatkan hadits dengan maknanya. Sebab diam dalam kon-disi seperti ini, termasuk perbuatan kitman al‑‘ilm (menyembunyikan ilmu). Sesuatu yang mendapatkan kutukan Tuhan juga.
Sementara jumhur ulama, termasuk imam madzhab yang empat membolehkan meriwayatkan hadits dengan makna. Kebolehan ini hanya ditujukan kepada orang yang telah lama berkecimpung dalam ilmu hadits dan mampu bersikap selektif dalam mengidentifikasi karakter lafal‑lafalnya ketika hadits itu bercampur aduk antara satu dengan lainnya. Dengan kemampuannya itu, ia mengerti mana makna yang benar dari makna yang salah. Dengan demikian, ia masih tetap menjaga orisinilitas hadits meski hanya dalam bentuk maknanya saja. Sifat‑sifat yang harus dimiliki oleh seorang rawi adalah keberagamannya tidak diragukan kejujurannya dalam menyampaikan hadits dikenal secara luas memahami betul hadits yang diceritakan kepada orang lain, mengetahui dengan tepat makna‑makna yang terkadung dalam suatu teks hadits dapat menghadirkan redaksi hadits sama persis dengan yang dia terima dari orang lain jika mau, atau mampu menghancurkan tulisannya secara persis, tidak diragukan kebenaran makna‑makna yang dibawakannya, orang semacam ini boleh meriwayat-kan hadits dengan maknanya. Misalnya sekedar mengganti lafal dengan dengan lafal     dan sebagainya.
Meski demikian, ada syarat‑syarat yang baru dijadikan bolehnya sebuah hadits diriwayatkan de-ngan makna, yaitu;
(1) haruslah hadits yang bukan berkaitan dengan ibadah mahdlali (termasuk teks adzan, iqamah, bacaan tasyahud, doa‑doa yang datang dari Nabi), dan
(2) bukan juga hadis jawami  al-kalim (kata­-kata yang sarat makna). Karena kedua macam hadits ini letak kekuatannya bukan hanya pada isi tetapi juga pada bunyi teksnya.
(3) ketika menyampaikan hadits, ia menjelaskan bahwa redaksi persisnya yang dari Nabi tidak sebagaimana yang disampaikan.
(4) tidak berkaitan dengan aqidah dan juga bukan berkaitan dengan hukum. Halal haram
Alasan yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan makna adalah:
Pertama, adanya suatu kenyataan bahwa di kalangan sahabat Nabi tidak sedikit yang mengemukakan suatu (teks) hadits dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda‑beda. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa periwayatan hadits dengan makna telah dilakukan sejak awal, yaitu sejak masa sahabat. Misalnya Ibn Mas’ud, Abu al‑Darda’, Anas bin Malik, ‘Aisyah, ‘Amar bin Dinar, ‘Amir al‑Sydbi, Ibrahim al‑Nakha’i, Ibn Abi Nujaih, ‘Amr bin Murrah, ja’far bin Muhammad bin ‘Ali, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Yahya bin Sidid al‑Qatthan. Hal semacam ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadits dan bukan kepada lafalnya.
Kedua, hadits riwayat Sa’id bin Jubair dari Abdullah bin Masud berkata: ”Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah: Rasul, engkau telah memperdengarkan aku suatu hadits yang tidak dapat aku tirukan kembali hadits itu sebagaimana yang aku dengar. Rasul menjawab: “jika kamu dapat menangkap maknanya dengan benar, silahkan ceritakan kepada yang lain”.
Ketiga, dalam hadits yang panjang diceritakan bahwa Rasul pernah bersabda: Bantahan atas tuduhan mi adalah bahwa meskipun di kalangan sahabat ada beberpa orang yang mengemukakan hadits dengan makna, periwayatan itu didasari oleh rasa tanggung jawab yanga tinggi untuk tidak “membuat‑buat berita palsu saat menyebarluaskan hadits kepada masyarakat luas. Selain itu, mereka adalah orang‑orang yang memahami dengan baik struktur bahasa Arab, memahami betul makna yang terkandung dalam sebuah teks hadits, dan o-rang-orang yang telah sekian lama mendapatkan pendidikan dan pengajaran langsung dari Rasulullah,
“Barang siapa membuat‑buat pernyataan dengan mengatasnamakan aku padahal aku bukan mengatakannya, silakan ambil tempat duduk diantara dua mata neraka jahannam”. Mereka ber-tanya: “ya Rasul, apakah mereka punya mata?” Rasul menjawab: “Bukankah kalian pernah mem-baca firman Allah: “Apabila nereka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya” (al-Furqan: 12). 
Keempat, seiring dengan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam masa pemerintahan khulafaur Rasyridin dan khilafah‑khilafah selanjutnya, tidak sedikit orang‑orang non Arab yang masuk Islam, mempelajari al‑Qur’an dan hadits. Bagi mereka rasanya tidak mungkin menerima pengajaran hadits dengan bahasaannya, yaitu bahasa Arab. Mereka mempelajari harus dengan bahasa mereka sendiri, hasil dari pemahaman orang‑orang Arab yang sudah menguasai bahasa setempat.
Dengan demikian, maka di sini terjadi periwayatan hadits dengan makna, dan bukan dengan bahasa aslinya.
Patut juga dikemukakan bahwa kalangan yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan makna, memberikan catatan dua hal:
Pertama, periwayatan itu terjadi sebelum masa pembukuan hadits. Periwayatan dengan makna setelah hadits dibukukan ke dalam berbagai buku, dilarang oleh seluruh ulama secara mufakat. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataann bahwa menghadirkan teks aslinya tidak sesulit seperti ketika badis belum didokumentasikan.
 Kedua, orang yang meriwayatkan hadits dengan makna hendaknya senantiasa tetap berhati‑hati. Kehati‑hatian itu diantaranya dengan mengikutsertakan kata‑kata dan sebagainya setelah selesai membacakan hadits. Hal seperti inilah yang dulu pernah dilakukan oleh Ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, Abu al‑Darda’ dan lain‑lain.
 
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.   Tata cara penerimaan hadits dapat dilakukan melalui beberapa cara. Cara‑cara itu turut menentukan status kesahihan sanad.
2.   Para ulama hadits umumnya sangat hati‑hati dalam menyampaikan hadits kepada orang lain, bahkan ada diantaranya yang lebih memilih diam dari pada harus menyampaikan hadits, tetapi khawatir terjadi kesalahan dalam mengungkapkan isi hadits. Sikap seperti itu merupakan refleksi dari rasa tanggung jawab mereka dalam menjaga kemurnian hadits.
3.   Keberadaan Rasulullah sebagai teladan yang baik telah mendorong sebagian kalangan untuk mengikuti dan mencontoh setiap ucapan, tindakan dan perbuatan Rasul. Bukan hanya dalam cara bersikap dalam kehidupan sehari­-hari tetapi juga dalam menyampaikan hadits. Mereka meriwayatkan hadits sesuai bunyi teks yang didengarnya dari Rasul dan sama sekali tidak berani merubahnya walau sedikitpun.
4.  Mengenai periwayatan hadits dengan makna, dapat disimpulkan sebagai berikut: para ulama sepakat bahwa untuk orang awam dilarang menyampaikan hadits dengan makna, demi menjaga kebenaran hadits itu sendiri. Sementara bagi ulama hadits, diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan makna dengan syarat:
(1) Dilihat dari segi haditsnya, bukan hadits yang berkaitan dengan aqidah, bacaan-bacaan doa, tentang hukum halal-haram atau jami’ al‑kalm (hadits yang ungkapan lafalnya memiliki makna yang sangat dalam dan luas).
(2) Dilihat dari segi waktunya, periwayatan itu terjadi sebelum hadits dibukukan.
(3) Dilihat dari segi kondisinya, kebolehan meriwayatkan hadits dengan makna adalah dalam kondisi darurat, yakni tidak dapat menghadirkan tulisannya secara langsung atau sedang dalam keadaan lupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar