Kata al-riwayat bentuk mashdar
dari kata rawa, secara bahasa
berarti al-naql (penulisan), al-dzikr (penyebutan), al-fatl (pintalan), dan al‑istiq’ (pemberian minum). Kata ini
agaknya sudah masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, yang kemudian diartikan
dengan cerita, sejarah, dan tambo.
Dalam istilah ilmu hadits, al-riwayat diartikan sebagai kegiatan menerima dan menyampaikan hadits
dengan menyandarkan hadits itu kepada rangkaian para pembawanya. Artinya bahwa
dalam melakukan al-riwayat terdapat
tiga unsur kegiatan yaitu, 1) kegiatan menerima hadits; 2)
kegiatan menyampaikan hadits; dan 3) kegiatan menyebutkan para pembawa
hadits.
Tiga kegiatan ini sering diistilahkan dengan al-tahammul wa al‑ada’ (menerima dan menyampai-kan hadits).
Dalam melakukan kegiatan al-riwayat, setidaknya ada empat hal yang selalu terkait di dalamnya.
Yaitu al-rawi (orang yang melakukan
periwayatan hadits), al-marwi (sesuatu yang diriwayatkan oleh
rawi), dan sanad atau isnad (susunan dan rangkaian para
pembawa hadits), serta matan (teks
hadits). Al‑Tahammul, kegiatan
menerima hadits yang dilakukan oleh seorang rawi, dapat dilakukan
melalui delapan cara, yaitu :
- Al‑samdmin lqfdl al-syaikh (murid mendengar langsung bacaan seorang guru hadits),
- Al‑qirdah ‘ala al-syaikh (murid membaca hadits di depan guru),
- Al‑ijazah (guru memberikan ijin kepada murid untuk meriwayatkan hadits yang berasal dari gurunya, atau kitab yang dikarangnya)
- Al-munawalah (seorang guru menyerahkan kitab atau lembaran catatan hadits kepada muridnya agar diriwayatkan dengan sanad darinya)
- Al-mukatabah (guru menulis hadits lalu mengi-rimkannya kepada murid),
- Al-i’lam (guru memberi tahu kepada murid bahwa kitab atau hadits yang ditunjuk adalah idtab atau hadits yang telah didengarnya dari seseorang, tanpa disertai ijin periwayatan kepadanya),
- Al‑washiyyah (seorang muhaddist berwasiat kepada seseorang agar kitab-kitabnya diserahkan kepadanya ketika muhadits itu meninggal dunia),
- Al-wijadah (seseorang menemukan suatu hadits atau kitab hasil tulisan orang lain lengkap dengan sanad-nya).
Kedelapan cara ini turut menentukan kualitas sanad. Yang jelas bahwa penerimaan
hadits yang diperoleh melalui cara pertama sampai kelima, secara umum memiliki
derajat yang lebih tinggi dibanding melalui cara yang berikutnya.
Tatacara penerimaan hadits seperti ini tidak hanya
terjadi di kalangan sahabat dan tabi’in tetapi juga generasi‑generasi
berikutnya. Perlu dikemukakan disini bahwa
secara umum kepatuhan sahabat dan tabi’in terhadap Nabi lebih tinggi dari pada kelompok yang lain. Kepatuhan ini
terjadi dalam segala hal, termasuk juga, dalam memahami hadits.
Dalam arti bahwa teks hadits yang datang dari Nabi diterima dan diceritakan
kembali sebagaimana teks aslinya, tanpa mengurangi dan menambahkan
sedikitpun. Bahkan ada beberapa diantara mereka yang memilih “diam” dan tidak
bayak meriwavatkan hadits daripada menyampaikan hadits tetapi tidak sesuai
dengan redaksi aslinya. Pilihan itu dilakukan demi menjaga otensitas teks hadits.
Diceritakan oleh Ibnu Qutaibab bahwa Umar sangat benci pada orang banyak meriwayatkan hadits.
Bahkan tidak jarang ia menganjurkan orang lain seperti dirinya, yaitu tidak
banyak meriwayatkan hadits. Demikian juga Abu Bakar, Zubair, Abu ‘Ubaidah,
Abbas bin Abd al‑Muthalib dan mayoritas sahabat, umumnya mereka sangat hati-hati
dalam meriwayatkan hadits. Mereka takut kalau-kalau tanpa disadari mereka
memasukkan sesuatu yang semestinya bukan hadits, tetapi dianggap sebagai
hadits oleh seseorang di kemudian hari. Jika ini benar‑benar
terjadi, maka mereka turut memberikan andil memasukkan informasi palsu ke
dalam ajaran agama. Tentu ini merupakan sesuatu yang tidak mereka inginkan sama
sekali.
Periwayatan Hadits dengan Lafal
Karena adanya rasa takut seperti itu, maka jika mereka
merasa harus menyampaikan hadits (redaksi
atau teks hadits), cara periwayatan mereka umumnya diungkapkan dalam bentuk lafalnya (teks aslinya) persis
seperti yang mereka terima dari
Rasulullah. Mereka tidak berani merubah sedikitpun redaksi hadits meskipun dengan sekedar mengganti huruf yang satu dengan
huruf lainnya, menukar kata yang satu
dengan kata lain yang semakna, atau juga merubah urutan kalimatnya. Cara periwayatan seperti ini merupakan
konsekuensi dari rasa tanggung jawab
mereka yang demikian besar perlunya keotentikan sebuah hadits. Apalagi mereka menyadari betul bahwa
hadits adalah wahyu juga seperti halnya
al‑Qur’an. Tentunya hadits harus dijaga dari kepalsuan‑kepalsuan. Meriwayatkan hadits tanpa mengadakan perubahan
redaksinya sedikitpun merupakan suatu cara
menjaga dan melestarikan kemumian sumber dan ajaran Islam itu sendiri.
Menurut mereka, melindungi hadits dari kepalsuan‑kepalsuan
haruslah dilakukan sejak awal dan dilakukan mulai dari kalangan sahabat sebagai
generasi pertama pemegang estafet bendera Islam setelah Rasulullah
meninggalkan mereka semua.
Berikut ini akan
dikemukakan bagaimana sikap para sahabat Nabi dan ahli hadits ketika menyampaikan
hadits. Diceritakan bahwa Umar bin al-Khathab pernah berkata: “barang siapa mendengar hadits lalu
menyampaikan hadits itu sesuai yang ia dengar, maka ia akan selamat”.
Ucapan senada juga dikatakan Ibnu ‘Umar, anaknya, dan
Zaid bin Arqam. Bahkan suatu saat Ibnu ‘Umar ketika membacakan
hadits lalu orang yang ada disampingnya menirukan hadits itu dengan sedikit perubahan, yaitu menyebut rukun
puasa sebelum rukun haji, Ibnu ‘Umar segera berkata: “Jangan-jangan sebutkan rukun puasa setelah haji karena begitulah aku
mendengar dari Rasulullah”.
Malik bin Anas juga tercatat sebagai sebagai seorang
yang sangat hati‑hati ketika menyampaikan hadits. la tidak mau merubah
sedikitpun susunan hadits yang sampai kepadanya. Persoalan yang
kemudian muncul adalah bahwa tidak semua orang memiliki hafalan yang baik dan
sempurna. Masyarakat Arab memang dikenal memiliki hafalan yang istimewa.
Mereka sanggup menghafal puluhan ribu hadits dan nama-nama perawi haditsnya.
Mereka juga sanggup menghadirkan hafalannya kapan saja dan di mana saja. Bagi
yang memiliki keistimewaan seperti ini agaknya mudah saja mereka meriwayatkan
hadits dengan redaksi yang sama persis dengan yang diterimanya dari
Rasulullah. Persoalannya adalah bahwa keistimewaan seperti itu agak-nya tidak
dimiliki sepenuhnya oleh setiap orang meski mereka telah masuk Islam dan banyak
mendengar hadits. Oleh karena itu muncul gagasan meriwayatkan hadits dengan
makna, karena bagaimanapun hadits harus tersebar ke seluruh pelosok dunia
Islam dan tidak boleh mengalami stagnan gara-gara tidak dapat menghadirkan
hadits sesuai dengan teks aslinya.
Meriwayatkan
Hadits dengan Makna
Sungguhpun demikian, tidak semua ahli hadits bersikap
seperti di atas. Juga tidak semua hadits, selalu
diceritakan dengan susunan kata dan ungkapan kalimat dalam bentuk teks aslinya
seperti yang disabdakan Rasul. Buktinya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu al-Darda’,
dan Muhammad bin Sirin, jika menyebutkan hadits, diakhiri dengan kata-kata dan sebagainya.
Ini menunjukkan bahwa hadits yang mereka sampaikan tidak sama persis susunan
kali-matnya dengan yang disampaikan Rasul. Mereka agaknya lebih mementingkan
isi dari pada teks hadits itu sendiri. Sikap yang sama juga terlihat pada diri
‘Aisyah. Menurut penuturan ‘Urwah bin Zubair, ‘Aisyah tidak mempermasalahkan
orang yang meriwayatkan hadits dengan maknanya. Bah-kan Ayyub pernah mendengar
Muhammad bin Sirin berkata: “kalau aku
mendengar sebuah hadits dari 10 orang, kemungkinan
mereka akan menyampaikan hadits itu dengan susunan yang berbeda, meskipun
maknanya sama”.
Hal serupa juga terjadi pada Zirarah. Diceritakan
bahwa Qatadah pernah mendengar Zirarah bin Abi Aufa berkata: “saya berguru dengan se-jumlah sababat Nabi
tentang hadist, semuanya menyampaikan hadist dengan redaksi yang berlainan
meskipun maknanya sama”. Pernyatan senada juga datang dari Jarir bin
‘Razim dan ‘Imran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa periwayatan
hadits dengan makna telah dilakukan sejak awal, yaitu sejak masa sahabat. Nama‑nama
berikut ini adalah kelompok yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan makna,
yaitu: Ibn Mas’ud, Abu al‑Darda’, Anas bin Malik, ‘Aisyah, ‘Amar bin Dinar,
‘Amir al‑Sydbi, Ibrahim al‑Na-kha’i, Ibn Abi Nujaih, ‘Amr bin Mur-rah, Ja’far
bin Muhanmiad bin ’Ali, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Yahya bin Sidiq al-Qatthan.
Pandangan
Ulama tentang Periwayatan Hadits dengan Makna
Sesungguhnya, tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama bahwa orang yang tidak ahli di bidang hadits, tidak mengetahui
struktur lafal dan kalimat bahasa Arab, dan tidak paham terhadap makna suatu
hadits, tidak boleh meriwayatkan dan menceritakan hadits kecuali dengan lafal
yang didengarnya.
Karena bila ia
meriwayatkan hadist tidak dengan lafalnya, memungkinan berbuat sewenang-wenang
dengan mengatasnamakan agama dan mengatasnamakan Allah dan Rasulullah. Bila
ini tadi tentu merupakan sesuatu yang
sangat membahayakan bagi kemurnian ajaran Islam itu sendiri. Demi menjaga keotentikan dan kebenaran
hadits, orang semacam ini dilarang menyampaikan hadits kecuali dengan lafal
yang sama persis dengan yang didengarnya dari orang lain. Dalam hal ini, Imam
Syafi’i sebagaimana dikutip Muhammad Ali Khathib mengatakan, bahwa orang yang
meriwayatkan hadits dengan maknanya sementara dia tidak tahu makna‑makna hadist
itu, sangat boleh jadi dia akan menghalalkan yang haram.
Tetapi bagi orang yang ahli di bidang hadits, mengetahui
secara tepat struktur lafal dan kalimat bahasa Arab, dan memahami betul makna
yang terkandung dalam sebuah teks hadits, tentang boleh‑tidaknya meriwayatkan
hadits degan makna para ulama berbeda pendapat. Ulama salaf dari kalangan ahh
hadits dart fiqh secara tegas melarang meriwayatkan hadits dengan makna.
Kalaupun boleh maka itu karena keterpaksaan (darurat). Dalam arti ia sedang mengalami
kesulitan menghadirkan hafalan teks aslinya, di saat harus menyampaikan hadits.
Pernyataan ini dikemukakan oleh Imam Mawardi, sebagaimana dikutip Affaj
Khathib, yang mengatakan bahwa kalau bukan karena lupa teks aslinya, maka tidak
boleh meriwayatkan hadits dengan maknanya. Sebab, kata Imam Mawardi, letak fashahnya suatu bahasa ada pada buku teks hadits itu sendiri, dan bukan pada maknanya
meskipun diungkapkan dengan bahasa Arab juga. Tetapi jika benar‑benar lupa, sementara keadaan mendesak untuk menyampaikan
hadits, wajib hukumnya, menurut Imam, Mawardi, meriwayatkan hadits dengan
maknanya. Sebab diam dalam kon-disi seperti ini, termasuk perbuatan kitman al‑‘ilm (menyembunyikan ilmu). Sesuatu yang mendapatkan kutukan Tuhan juga.
Sementara jumhur ulama, termasuk imam madzhab yang
empat membolehkan meriwayatkan hadits dengan makna. Kebolehan ini hanya
ditujukan kepada orang yang telah lama berkecimpung dalam ilmu hadits dan
mampu bersikap selektif dalam mengidentifikasi karakter lafal‑lafalnya ketika
hadits itu bercampur aduk antara satu dengan lainnya. Dengan kemampuannya
itu, ia mengerti mana makna yang benar dari makna yang salah. Dengan
demikian, ia masih tetap menjaga orisinilitas hadits meski hanya dalam bentuk
maknanya saja. Sifat‑sifat yang harus dimiliki oleh seorang rawi adalah
keberagamannya tidak diragukan kejujurannya dalam menyampaikan hadits dikenal
secara luas memahami betul hadits yang diceritakan kepada orang lain,
mengetahui dengan tepat makna‑makna yang terkadung dalam suatu teks hadits dapat
menghadirkan redaksi hadits sama persis dengan yang dia terima dari orang lain
jika mau, atau mampu menghancurkan tulisannya secara persis, tidak diragukan kebenaran
makna‑makna yang dibawakannya, orang semacam ini boleh meriwayat-kan hadits dengan maknanya.
Misalnya sekedar mengganti lafal dengan dengan lafal dan sebagainya.
Meski demikian, ada syarat‑syarat yang baru dijadikan
bolehnya sebuah hadits diriwayatkan de-ngan makna, yaitu;
(1) haruslah hadits yang bukan berkaitan dengan ibadah mahdlali (termasuk teks adzan, iqamah, bacaan tasyahud, doa‑doa
yang datang dari Nabi), dan
(2) bukan juga hadis jawami al-kalim (kata-kata yang sarat makna).
Karena kedua macam hadits ini letak kekuatannya bukan hanya pada isi tetapi
juga pada bunyi teksnya.
(3) ketika menyampaikan hadits, ia menjelaskan bahwa redaksi persisnya
yang dari Nabi tidak sebagaimana yang disampaikan.
(4) tidak berkaitan dengan aqidah dan juga bukan berkaitan dengan
hukum. Halal haram
Alasan yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan
makna adalah:
Pertama,
adanya suatu kenyataan bahwa di kalangan sahabat Nabi tidak sedikit yang
mengemukakan suatu (teks) hadits dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi
yang berbeda‑beda. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa periwayatan hadits
dengan makna telah dilakukan sejak awal, yaitu sejak masa sahabat. Misalnya Ibn Mas’ud, Abu al‑Darda’, Anas bin Malik, ‘Aisyah, ‘Amar
bin Dinar, ‘Amir al‑Sydbi, Ibrahim al‑Nakha’i, Ibn Abi Nujaih, ‘Amr bin
Murrah, ja’far bin Muhammad bin ‘Ali, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Yahya bin
Sidid al‑Qatthan. Hal semacam ini terjadi karena mereka berpegang kepada
makna hadits dan bukan kepada lafalnya.
Kedua, hadits riwayat Sa’id bin Jubair dari Abdullah bin Masud berkata: ”Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah:
Rasul, engkau telah memperdengarkan aku suatu hadits yang tidak dapat aku
tirukan kembali hadits itu sebagaimana yang aku dengar. Rasul menjawab: “jika
kamu dapat menangkap maknanya dengan benar, silahkan ceritakan kepada yang
lain”.
Ketiga, dalam hadits yang panjang diceritakan bahwa Rasul pernah bersabda: Bantahan
atas tuduhan mi adalah bahwa meskipun di kalangan sahabat ada beberpa orang
yang mengemukakan hadits dengan makna, periwayatan itu didasari oleh rasa
tanggung jawab yanga tinggi untuk tidak “membuat‑buat berita palsu saat
menyebarluaskan hadits kepada masyarakat luas. Selain itu, mereka adalah orang‑orang
yang memahami dengan baik struktur bahasa Arab, memahami betul makna yang
terkandung dalam sebuah teks hadits, dan o-rang-orang yang telah sekian lama
mendapatkan pendidikan dan pengajaran langsung dari Rasulullah,
“Barang siapa
membuat‑buat pernyataan dengan mengatasnamakan aku padahal aku bukan mengatakannya,
silakan ambil tempat duduk diantara dua mata neraka jahannam”. Mereka ber-tanya: “ya
Rasul, apakah mereka punya mata?” Rasul menjawab: “Bukankah kalian pernah
mem-baca firman Allah: “Apabila nereka
itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan
suara nyalanya” (al-Furqan: 12).
Keempat, seiring
dengan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam masa pemerintahan khulafaur
Rasyridin dan khilafah‑khilafah selanjutnya, tidak sedikit orang‑orang non Arab
yang masuk Islam, mempelajari al‑Qur’an dan hadits. Bagi mereka rasanya tidak mungkin menerima
pengajaran hadits dengan bahasaannya, yaitu bahasa Arab. Mereka
mempelajari harus dengan bahasa mereka sendiri, hasil dari pemahaman orang‑orang Arab yang sudah menguasai bahasa
setempat.
Dengan demikian, maka di sini terjadi periwayatan
hadits dengan makna, dan bukan dengan bahasa aslinya.
Patut juga dikemukakan bahwa kalangan yang membolehkan
meriwayatkan hadits dengan makna, memberikan catatan dua hal:
Pertama, periwayatan
itu terjadi sebelum masa pembukuan hadits. Periwayatan dengan makna setelah
hadits dibukukan ke dalam berbagai buku, dilarang oleh seluruh ulama secara
mufakat. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataann bahwa menghadirkan teks
aslinya tidak sesulit seperti ketika badis belum didokumentasikan.
Kedua, orang yang meriwayatkan hadits dengan makna hendaknya
senantiasa tetap berhati‑hati. Kehati‑hatian itu diantaranya dengan mengikutsertakan
kata‑kata dan sebagainya setelah selesai membacakan hadits. Hal seperti inilah
yang dulu pernah dilakukan oleh Ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, Abu al‑Darda’ dan
lain‑lain.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Tata
cara penerimaan hadits dapat dilakukan melalui beberapa cara. Cara‑cara itu
turut menentukan status kesahihan sanad.
2. Para ulama hadits umumnya sangat hati‑hati dalam
menyampaikan hadits kepada orang lain, bahkan ada diantaranya yang lebih
memilih diam dari pada harus menyampaikan hadits, tetapi khawatir terjadi
kesalahan dalam mengungkapkan isi hadits. Sikap seperti itu merupakan
refleksi dari rasa tanggung jawab mereka dalam menjaga kemurnian hadits.
3. Keberadaan
Rasulullah sebagai teladan yang baik telah mendorong sebagian kalangan untuk mengikuti
dan mencontoh setiap ucapan, tindakan dan perbuatan Rasul. Bukan hanya dalam
cara bersikap dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam menyampaikan
hadits. Mereka meriwayatkan hadits sesuai bunyi teks yang didengarnya dari
Rasul dan sama sekali tidak berani merubahnya walau sedikitpun.
4. Mengenai
periwayatan hadits dengan makna, dapat disimpulkan sebagai berikut: para ulama
sepakat bahwa untuk orang awam dilarang menyampaikan hadits dengan makna, demi
menjaga kebenaran hadits itu sendiri. Sementara bagi ulama hadits, diperbolehkan
meriwayatkan hadits dengan makna dengan syarat:
(1) Dilihat dari segi haditsnya, bukan hadits yang berkaitan dengan
aqidah, bacaan-bacaan doa, tentang hukum halal-haram atau jami’ al‑kalm (hadits yang ungkapan lafalnya memiliki makna yang
sangat dalam dan luas).
(2) Dilihat dari segi waktunya, periwayatan
itu terjadi sebelum hadits dibukukan.
(3) Dilihat dari segi kondisinya, kebolehan
meriwayatkan hadits dengan makna adalah dalam kondisi darurat, yakni tidak
dapat menghadirkan tulisannya secara langsung atau sedang dalam keadaan lupa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar