Jumat, 31 Agustus 2012

Aqsam Fi Al Qur’an

                                                         Pengertian Qasam Al-Qur'an

Istilah aqsam adalah bentuk jamak dari asal kata “qasam” (sumpah). Menurut bahasa qasam semakna dengan "al‑Hilf” dan "al‑Yamin", namun muatan makna qasam lebih tegas. Para pakar gramatika bahasa Arab mendefinisikan qasam dengan kalimat yang mempunyai fungsi menguatkan suatu berita. Sedangkan louis ma’luf, qasam diartikan dengan bersumpah dengan Allah atau lainnya.
Adapun menurut istilah pengertian qasam dapat dijelaskan sebagai berikut:
"(Untuk menguatkan jiwa agar orang tidak melakukan sesuatu, atau melakukan sesuatu, dengan sesuatu yang diagungkan/dimuliakan, baik dalam wujudnya yang hakiki, maupun hanya dalam keyakinan).

"(Memperluas maksud dengan disertai penyebutan sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dan memfungsikan huruf wau atau yang lainnya).
Menurut Imam az‑Zarqani sebagaimana yang dikutip oleh Rosihan Anwar, mendefinisikan sum-pah dengan kalimat "(suatu kalimat untuk mentaukidkan dan menguatkan suatu pemberitahuan)”.
Ibnu al‑Qayyim, dalam bukunya at-Tibyan, memberikan definisi sumpah dengan kalimat "(Kalimat untuk mentahqiq perintah dan mentaukidkannya) Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, sumpah didefinisikan dengan pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau sesutau yang dianggap suci bahwa apa yang dikatakan atau dijanjikan itu benar.
Sumpah dalam al‑Qur’an juga disebut dengan yamin, karena konon orang Arab ketika bersum-pah selalu memegang tangan kanan sahabatnya. Namun ada yang berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara qasam dengan halaf Dalam al-Qur’an kata halaf disebut sebanyak 13 kali. Sedangkan kata qasam disebut sebanyak 24 kali.
Kata halaf digunakan untuk sesuatu yang negatif dimana Tuhan tidak memakainya. Kata qusuni ialah kata sumpah yang dipakai Tuhan. Menurut M. Quraish Shihab, dari segi bahasan, apakah kata qasam, yamin dan halaf  tidaklah terdapat perbedaan.
Sedangkan Bintu Syathi menyebutkan ada perbedaan, sebagaimana yang dikutip oleh Rahmat Syafe’i , halaf  adalah:
-     Digunakan untuk menunjukan kebohongan orang bersumpah.
-     Menggambarkan penyumpahannya tidak konsekuen, lalu membatalkannya.
Ini salah satu sebab mengapa al‑Qur’an menggunakan istilah qasam yang hanya dipakai Allah SWT karena menunjukan kebenaran dan kesungguhan. Sedangkan al‑Yamin hanya digunakan tidak dalam bentuk fi’il seperti qasama dan halafa. Dengan demikian, inti pembahasan aqsam al‑Qur’an adalah sumpah Allah dalam al‑Qur’an. 
Unsur‑unsur Aqsam dan Ungkapannya
Dalam bahasa Arab, kalimat yang biasa digunakan untuk menyatakan sumpah ialah "uqsimu" atau "ahlifu", yang dita’diahkan dengan "ba" kepada muqsam bih, kemudian baru disebutkan muqsam ‘alaihnya yang biasa disebut juga dengan jawab qasam.
Dengan demikian, sighat aqsam itu terdiri dari tiga unsur, yaitu:
1. Fi’il  transitif dengan huruf ba'
Bentuk asal aqsam, adalah fi’il aqsama yang transitif dengan “ba”, kemudian disusul dengan muqsam bih dan muqsam 'alaih yang disebut de-ngan jawab qasam, sebagai suatu contoh adalah sighat qasam yang terdapat dalam al‑Qur’an surat al-Nahl ayat 38 :

وأقسموابالله جهد أيمنهم لايبعث الله من يموت بل وعداعليه حقاّ ولكنّ أثرالناّس لايعلمون 
”Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui". (al-­Nahl: 38).
Namun dalam prakteknya, bentuk kalimat sumpah, kadang‑kadang dirasakan agak panjang maka supaya lebih singkat dan efisien seringkali fi’il qasam tidak disebutkan dan sebagai gantinya cukup dengan menyebutkan "ba" yang dihubungkan dengan lafazh jalalah atau lainnya. Kemudian "ba" pun diganti dengan "wawu" jika dihubungkan dengan sesuatu yang zhahir, seperti sumpah yang terdapat dalam fi’il :
والتيّنِ والزّ يتون                                   
"Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,…(at‑Tin: 1).
Namun, jika dihubungkan dengan lafadzh ja-lalah, terkadang huruf “ba” digantikan dengan huruf "la", seperti sumpah yang tercantum dalam surat al-­Anbiya’ Ayat 57:

وتالله لأ كيدنّ أصنمكم بعد أن تولّوامد برين
"Demi Allah, sesungguhnya Aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya”
Namun qasam dengan "ta" ini jarang dipergunakan, sedangkan yang banyak dipakai dalam al-Qur’an adalah dengan huruf  “wawu”.

2.   Muqsam bih adalah sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah
Di dalam al‑Quran, bagi Allah sumpah itu da-pat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 

a. Allah bersumpah dengan dirinya.
Di dalam al‑Qur’an terdapat tujuh tempat di-mana Allah bersumpah dengan dirinya sendiri ya-itu:
1) Surat al‑Dzariyat ayat 23:

فوربّ االسّماء والأرض إنّه لحقّ مثل ما أنّكم تنطقون
"Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar‑benar (akan ter-jadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan”.

2) Surat Yunus ayat 53:

قل إى وربّى إنّه لحقّ وما أ نتم بمعجزين
"Katakanlah: Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali‑kali tidak bisa luput (daripadanya)”.

3) Surat al‑Taghabun ayat 7:

زعم الّذين كفروا أن لّن يبعثوا قل بلى وربّى لتبعثنّ ثمّ لتنبؤنّ بما عملتم وذلك على الله يسير      
"Orang‑orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali‑kali tidak akan dibangkitkan. Kata-kanlah: "Memang, demi Tuhanku, benar‑benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.

4) Surat Maryam ayat 68:

فوربك لنحشّر نّهم والشّبطين ثمّ لنحضر نّهم حول جهنّم جثياّ
"Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan, kemudian akan kami datangkan mereka ke sekeliling jahannam dengan berlutut”.

5) Surat al‑Hijr ayat 92:         
فوربّك لنسئلنّهم أجمعين
"Maka demi Tuhanmu, kami pasti akan menanyai mereka semua”.
b. Allah bersumpah dengan makhluk-makhluk-Nya.

Di dalam al‑Qur’an Allah banyak bersumpah dengan ayat‑ayat‑Nya yang memantapkan eksistensi dan sifat‑sifat‑Nya. Dan sumpahnya dengan sebagian makhluk-Nya menunjukan bahwa makhluk itu termasuk salah satu ayat‑Nya yang besar, di samping menunjukan pula akan keutamaan dan kemanfaatan makhluk tersebut agar dijadikan i’tibar bagi manusia, antara lain:

1) Al‑Syams ayat 1‑ 6:

 Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, 2. Dan bulan apabila mengiringinya, 3. Dan siang apabila menampakkannya, 4. Dan malam apabila menutupinya, 5. Dan langit serta pembinaannya, 6 Dan bumi serta penghamparannya”.

3. Muqsam alaih (jawab qasam)
Dengan qasam sebenarnya dimaksudkan untuk mentaukidkan muqsam alaih dan mentahqiqannya. Oleh sebab itu, untuk pemberitaan hal‑hal ghaib, ataupun hal‑hal tersembunyi perlu pemakaian sumpah.
Muqsam alaih yang terdapat dalam al-Qur’an dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jawab qasam pada umumnya disebutkan dengan jelas, namun dijumpai juga jawab qasam yang tidak disebutkan dengan jelas (mahzhqf), sebagai-mana halnya jawab "lau" yang, sering dibuang, seperti terdapat dalam firman Allah surat at‑Takatsur ayat 5:
"Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin... ".

Macam‑macam Qasam dalam Al‑Qur-’an
Sumpah adakalanya zhahir (nyata), dan ada-kalanya mudhmar (tidak terang disebut). Kedua macam sumpah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Sumpah Zhahir
Sumpah zhahir ialah sumpah yang biasa disebut dengan jelas fi'il qasam­nya dan ditegaskan pula muqsam bih‑nya. Termasuk yang zhahir juga ialah sumpah yang dibuang fi'il qasam‑nya, dan untuk menyatakan sumpah cukup diganti dengan huruf qasam, yaitu ba, wawu dan la. Juga termasuk sumpah yang zhahir, yaitu sumpah yang berbentuk “la nafiah” yang dihubungkan dengan fi’il qasam, seperti firman Allah: al‑Qiyamah ayat 1‑ 2:
            
“Aku bersumpah demi hari kiamat, 2. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (di-rinya sendiri)".

Dalam hal yang terakhir ada yang berpendapat, bahwa "la" pada dua ayat tersebut, yang menafikan sesutau, bukan "la" untuk qasam, tetapi "la nafiah" yang menafikan sesuatu yang mahzhuf. Yang takdirnya sesuai dengan maqam­nya. Ada juga yang menyatakan “la" di sini adalah “la zai-dah”.

b. Sumpah Mudhmar
Sumpah mudhmar yaitu yang di dalam sumpah itu tidak dijelaskan adanya fi’il qasam, dan juga tidak jelas adanya muqsam bih. Sumpah tersebut hanya ditunjukan oleh "lam taukid" yang terletak pada jawab qasam, seperti firman Allah dalam surat ali ‘Imran ayat 187:


“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang‑orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikan-nya, “lalu mereka melemparkan janji itu, ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima”.

Tujuan dan Faedah Qasam dalam Al‑Qur’an
Keistimewaan dalam bahasa Arab ialah bahwa seuatu pemberitaan yang hendak disampaikan kepada orang lain, sering kali perlu memperhatikan bentuk pemberitaan yang harus digunakan.
Di dalam ilmu ma'ani, bentuk‑bentuk pemberitaan tersebut diuraikan dalam "Adhrub al‑Khabar", di sana dijelaskan bahwa penyampaian berita kepada orang lain perlu memperhatikan tanggapan yang mungkin diberikan oleh si penerima berita.
  • Maka dalam kontek ini, lawan bicara paling tidak mempunyai tiga macam keadaan, antara lain:Lawan bicara tidak dimungkinkan meragukan kebenaran berita.Penyampaian berita dalam kondisi ini tidak perlu diperkuat dengan ta'kid. Bentuk pemberitaan seperti ini dalam ilmu ma'ani disebut ibtida'i. Dalam konteks ini, penerima berita dimungkinkan seorang yang berhati kosong, sama sekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan yang diterangkan kepadanya, maka pemberitaan yang disampaikan kepadanya tidak perlu memakai penguat (ta’kid).
  • Lawan bicara tampak meragukan kebenaran suatu berita., dalam kontek ini audience terlihat meragukan apakah hendak menerima atau menolaknya, maka pemberitaan untuk orang semacam ini sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan keragu‑raguan yang ada pada dirinya. Pemberitaan semacam ini disebut ihalabi.      
  •  Audience sangat dimungkinkan mengingkari atau balik memusuhinya., Penyampaikan berita dalam keadaan yang terakhir, sudah seharusnya disertai penguat sesuai kadar keingkarannya. Karena audience adalah orang yang sangat dimungkinkan mengingkari atau bah-kan memusuhi kebenaran berita. Pemberitaan de-mikian dinamakan inkar.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa qasam merupakan salah satu penguat pemberitan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Al‑Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang beraneka ragam terhadapnya, diantaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi.
Karena itulah sumpah dalam kalamullah dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakkan hujjah, memperkuat khabar Tuhan kepada manusia dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna. Di samping tujuan tersebut di atas, sumpah Tuhan dengan diri‑Nya mempunyai faedah untuk menunjukan kebesaran dan keagungan‑Nya. Sedangkan sumpah Tuhan dengan makhluk‑Nya menurut as‑Suyuthi sebagaimana yang dikutip oleh Rachmat Syafei, sumpah Tuhan dengan makhluk-Nya mempunyai faedah yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.   Menunjukan kelebihan yang diberikan Tuhan kepada makhluk‑Nya, dari segi keutamaan/kemuliaan.
2.  Menunjukan kelebihan yang diberikan Tuhan kepada makhluk‑Nya, dari segi keagungan dan manfaatnya.
Penutup
Dari uraian di atas dapatlah diambil beberapa kesimpulan, antara lain:
1.   Sumpah adalah satu cara yang dipergunakan dalam al‑Qur’an untuk memperkuat kebenaran wahyu Tuhan.
2.   Sedangkan unsur‑unsur sumpah adalah:
a.   Fi’il (kata kerja) transitif dengan huruf ba’.
b.   Muqsam bih adalah sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah.
c.   Muqsam alaih (jawab qasam).
3.   Kalimat sumpah dalam al‑Qur’an mempunyai bentuk yang bermacam‑macam.
4.  Sumpah dengan nama Tuhan untuk menunjukan akan keagungannya, dan sumpah Tuhan dengan makhluknya menunjukan kelebihan makhluk dari segi kemulyaan atau dari segi ke-manfaatannya





Sabtu, 04 Agustus 2012

I'jaz dalam Al-Qur'an


A. Pengertian I’jaz Al‑Qur’an
Menurut bahasa, kata mu’jizat berasal dari kata ‘ajaz (lemah), yang dapat diartikan sebagai kemu’jizatan, hal yang melemahkan, yang menjadikan sesuatu atau pihak lain tak berdaya. Pada dasarnya al‑Mu’jiz (yang melemahkan) itu adalah Allah SWT; yang menyebabkan selainnya lemah sebagai bentuk mubalaghah (penegasan) kebenaran berita mengenai betapa lemahnya orang-orang yang didatangi Rasul untuk menentang mu’jiz tersebut. Huruf ta’ marbuthah ditambahkan pada kata mu’jiz sehingga menjadi menjadi mu’jizat.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas apa yang dimaksud mu’jizat, berikut ini ada beberapa definisinya :
1.  Peristiwa yang tidak dapat dijelaskan oleh hukum alam, dianggap gaib dan merupakan tindakan Tuhan.
2.   Seseorang, sesuatu atau kejadian yang menimbulkan perasaan kagum.
3. Suatu tindakan atau perbuatan di luar kekuasaan manusia, sesuatu yang dianggap mustahil bisa terjadi.
Pendapat lain yang senada dengan pendapat di atas ialah: sesuatu dinamakan mu’jizat (melemahkan) karena manusia lemah untuk mendatangkan yang sama dengannya atau saingannya, sebab mu’jizat datang berupa hal-hal yang bertentangan dengan adat, keluar dari batas‑batas faktor yang telah diketahui dan dipahami oleh manusia. Hal‑hal luar biasa itu hanya bisa ditunjukkan oleh Allah SWT.
Ijaz al‑Qur’an ialah kekuatan, keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki al-Qur’an yang menetapkan kelemahan manusia, untuk bisa mendatangkan sesuatu yang serupa atau menyamainya; memberi pengertian kepada manusia tentang kelemahan mereka untuk mendatangkan sesuatu yang sejenis dengan al-Qur’an, menjelaskan bahwa al-Qur’an haq, dan Rasul yang membawanya adalah Rasul yang benar.

B. Bentuk‑bentuk Kemu’jizatan Al‑Qur‘an
Al‑Qur’an merupakan mu’jizat terbesar yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, ini dapat disaksikan oleh seluruh umat manusia sepanjang masa dan memang beliau diutus oleh Allah SWT untuk keselamatan seluruh manusia. Untuk membuktikan bahwa al‑Qur’an itu benar-benar berasal dari Tuhan. Dua argumen diajukan oleh Tuhan yang Maha Kuasa sendiri sebagai berikut :
Pertama, bahwa Kami (Allah SWT) telah mewahyukan kepadamu (Muhammad) “al-Qur’an untukmu”, seorang Nabi ummi yang tidak bisa membaca dan menulis. Selain itu Allah SWT sendiri memberikan kesaksian atas kejujuran Muhammad dengan menyatakan bahwa dia tidak pernah dapat menyusun isi kitab suci al‑Qur’an dan dia tidak dapat menjadi pengarangnya (QS. al‑Ankabut: 48).
Kedua, al-Qur’an sendiri membawa bukti yang menunjukkan bahwa ia betul-betul berasal dari Tuhan (QS. An-Nisa:82).
Adapun bentuk-bentuk kemu’jizatan al-Qur’an, Quraish Shyihab berpendapat bahwa, pada garis besarnya mu’jizat al-Qur’an itu tampak dalam tiga hal pokok. Pertama, susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa Arab. Kedua, kandungan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkannya. Ketiga, ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian sudah terbukti kebenarannya.   
Al-Qur’an memiliki ushlub yang berbeda dengan ushlub yang ada dalam tata bahasa orang Arab. Orang-orang Arab sangat congkak atas penguasaan Arab dan yang pertama kali memiliki rasa permusuhan terhadap Nabi Muhammad SAW serta ajarannya. Kesempurnaan kefasihan al-Qur’an tidak memungkinkan bagi mereka untuk menemukan kelemahan sedikitpun di dalamnya. Sebaliknya, mereka terpaksa mengakui bahasa al-Qur’an tidak bisa dibandingkan dengan puisi para penyair atau bahasa jago-jago podium. Mereka tidak pernah bisa menjawab tantangan sederhana dari al-Qur’an untuk membuat sebuah surat yang kualitasnya seperti surat al-Qur’an yang terpendek sekali pun. Mereka berulang kali mendengar tantangan melalui Nabi-Nya, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Yunus: 38, QS. al-Ba-qarah: 23-24 dan QS. al-Isra’: 88.
Walid bin Mughirah, kemenakan Abu Jahal, meneteskan air mata ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an. Abu Jahal mendatangi dan menegurnya. Dia menjawab “saya bersumpah pada Tuhan, tidak seorang pun dari anda mengetahui dan mengenal puisi yang saya dengar ini, dan saya menyatakan bahwa kata-kata yang diucapkan Muhammad ini bukan puisi”.
  Juga diriwayatkan bahwa Utbah mendatangi Rasululllah SAW dan berdiskusi dengannya tentang penentangan orang-orang Quraisy terhadap al-Qur’an. Nabi membaca ayat-ayat pertama surat Fushilat. Beliau hanya membaca 13 ayat ketika Utbah memahami, meminta Nabi berhenti membaca dan dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Riwayat lain menceritakan, ketika Nabi membaca ayat‑ayat al‑Qur’an, Utbah merasa gelisah, tidak bisa duduk tenang dan menyandarkan punggungnya pada kedua tangannya sampai Nabi membaca sebuah ayat sajdah, kemudian beliau bersujud kepada Allah. Utbah segera pulang dalam keadaan emosi, menyembunyikan diri dari pandangan orang sampai beberapa orang Quraisy mendatanginya. Utbah berkata kepada mereka, “demi Tuhan! Muhammad membaca ayat‑ayat yang sebelumnya tidak pernah aku dengar sepanjang hidupku. Aku betul‑betul kehilangan diri dan tidak bisa menjawab apa‑apa padanya”.
Abu Dzar berkata, berkata belum pernah ada penyair yang lebih besar dari saudaranya, Anis yang telah mengalahkan dua belas penyair dalam sebuah kontes sebelum masa Islam. Suatu saat, ketika dia kembali dari Makkah, mereka bertanya kepadanya pendapat orang‑orang Makkah mengenai Nabi Muhammad SAW. Dia menjawab, mereka menuduh Nabi sebagai penyair, tukang tenung dan penyihir. Kemudian mengatakan bahwa dia sangat mengenal ucapan para penenung dan penyihir, dan melihat ucapan Nabi itu tidak bisa sama sekali di-bandingkan dengan mereka. Muhammad bukanlah penyair, penenung dan penyihir seperti yang ditu-duhkan oleh para pendusta, kata‑katanya adalah kebenaran.
Kemu’jizatan ilmiah al‑Qur’an bukanlah terletak pada cakupannya pada teori-teori ilmiah yang selalu baru dan berubah sebagai hasil usaha manusia melalui pengamatan dan penelitian, tetapi terletak pada semangatnya memberi dorongan pada manusia untuk berpikir menggunakan otaknya. Semua persoalan atau kaidah ilmu pengetahuan yang telah mantap dan meyakinkan, merupakan manifestasi dari kegiatan berfikir yang dianjurkan al-Qur’an. Al‑Qur’an telah membangkitkan pada diri setiap manusia kesadaran ilmiah untuk memikirkan, memahami dan menggunakan akal sesuai dengan firman Allah SWT:

كَذَلِكَ نُفَصِلُ الأَيَات لِقَوْمِ يَعْلَمُوْنَ

Al‑Qur’an memberikan banyak prediksi (ramalan) yang berhubungan dengan peristiwa akan datang. Semua prediksi al-Qur’an betul‑betul terjadi, sebagaimana al‑Qur’an memprediksi pada QS. al-Fath 27, yang diturunkan sebelum perjanjian Hudaibiyah tahun enam sebelum hijrah. Pada ayat ini umat Islam mendapat janji dari Allah SWT bahwa mereka segera memasuki Masjid al-Haram di Makkah dengan kemenangan beberapa orang Islam menggundul kepalanya dan banyak pula yang mencukur pendek rambutnya, dan banyak ayat lain yang merupakan prediksi-prediksi yang dapat dibuktikan kemudian.
C. Kesimpulan
Dengan kita mengetahui i’jaz al‑Quran sebagaimana diterangkan di atas, dapat kiranya disim-pulkan al‑Qur’an membawa ajaran yang penting bagi manusia sepanjang zaman di segala segi. Semakin manusia mau mempelajari dan memusatkan perhatiannya pada al‑Qur’an akan menemukan rahasia kemu’jizatan dari segala aspek kehidupan dan menghantarkan kehidupan manusia kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.
 

 

Fawatih As Suwar Al Qur’an


A. Pengertian Fawatih Al‑Suwar
Dari segi bahasa, fawatih al‑suwar berarti pembukaan‑pembukaan surat, karena posisinya yang mengawali teks‑teks pada suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah, huruf tersebut dinamakan dengan ahruf muqatta’ah (huruf-huruf yang terpisah), karena posisi dari huruf tersebut yang cenderung “menyendiri” dan tidak bergabung membentuk suatu kalimat secara kebahasaan. Dan cara pembacaannya pun, tidak berbeda dari lafadz yang diucapkan pada huruf hijaiyah.
Ibnu Abi al‑Asba’ menulis sebuah kitab yang berjudul: al‑Khaqathir al‑Sawanih fi Asrar al-Fawatih. la mencoba menjelaskan tentang beberapa katagori dari pembukaan-pembukaan surat yang ada di dalam al‑Qur’an, sebagai berikut:
Pertama, pujian terhadap Allah SWT, yang dinisbatkan pada sifat‑sifat kesempurnaan Tuhan;
Kedua, dengan menggunakan huruf‑huruf hijaiyah, terdapat pada 29 surat;
Ketiga, dengan menggunakan kata seru (ahruf al-nida’), terdapat dalam 10 surat dengan rincian lima seruan ditujukan kepada Rasul secara khusus, dan lima seruan lainnya ditujukan kepada umat;
Keempat, kalimat berita (jumlah al‑khabariyah), terdapat dalam 23 surat; dan
Kelima, dalam bentuk sumpah (al‑Aqsam), terda-pat dalam 15 surat.
B. Pendapat Ulama tentang Fawatih Al‑Suwar
Diantara sekian banyak pendapat para ulama mengenai hal ini, tidaklah  mereka berbeda dalam esensi (pokok) pembahasan, melainkan pada sudut pandang saja. Ibnu Abi al‑Asba’ mengatakan, fungsi fawatih al‑suwar, sebagaimana dikutip Ahmad bin Musthafa untuk menyempurnakan dan memperindah bentuk‑bentuk penyampaian. Selain itu, ia dipandang merangkum segala materi yang akan disampaikan lewat kata-kata awal. Dalam hal ini surat al‑Fatihah dapat digunakan sebagai ilustrasi dari suatu pembuka yang merangkum keseluruhan pesan ayat dan surat yang terdapat di dalam al-­Qur’an.
Hal‑hal yang banyak dipertentangkan di kalangan ulama adalah pembuka‑pembuka surat yang berbentuk huruf, sehingga tidak heran apabila huruf-huruf tersebut sering dikategorikan ke dalam ayat-ayat mutasyabihat, yang tak seorang pun “mengetahui” artinya kecuali Allah SWT, atau bahkan disebut sebagai salah satu bentuk “rahasia Tuhan” yang terdapat dalam al-Qur’an.
Menurut al‑Hubbi, awal surat yang berupa huruf merupakan bentuk peringatan kepada Nabi. Allah SWT mengetahui saat-saat Nabi sebagai seorang manusia kadang sibuk. Maka dari itu Jibril menyampaikan firman Allah SWT seperti alif-lam-mim, alif‑lam‑raa’ supaya Nabi menerima dan memperhatikannya. Sedang Sayid Rashid Ridla dalam tafsirnya “al‑Manar” menyatakan bahwa huruf-­huruf tersebut sebagai sebuah peringatan yang diutamakan pada ruh dan watak Nabi yang mulia. Dalam hal ini tidak mengkhususkan kepada siapa tanbih (peringatan) itu ditujukan. Sedang ulama lain memberikan keterangan bahwa tanbih itu ditujukan kepada kaum musyrikin di Makkah dan ahli kitab di Madinah.
Asy‑Syafi’i berpendapat bahwa huruf-huruf awal awal surat merupakan rahasia al-Qur’an. Abu Bakar as‑Shiddiq berkata, tiap-tiap kitab mempunyai rahasia dan rahasia al‑Qur’an adalah awal surahnya. Sedangkan Ibnu Mas’ud menyatakan: “tiap-tiap huruf awal surah merupakan ilmu yang disembunyikan dan rahasianya tertutup oleh kekuasaan Allah SWT, sehingga banyak para mufassir yang hanya memperkirakan maknanya. Hal itu disebabkan keterbatasan pemahaman dan latar belakang pengetahuan mereka, sehinga untuk makna yang hakiki ayat tersebut dikembalikan kepada Allah SWT.
 Bagi kaum Sufi tidak ada keraguan untuk menafsirkan ayat‑ayat mutasyabihat dengan cara penafsiran bathiniah, seperti dikemukakan Muhyidin ibn Arabi dalam kitabnya “Futuhah al‑Makiyyah”, mengatakan “permulaan surah yang majhul tidak dapat diletakkan makna yang sesungguhnya kecuali oleh seorang yang mampu berimajinasi kreatif (menggambarkan) dengan akalnya”.
Adapula ulama yang tidak terlalu menganggap serius huruf‑huruf pembuka itu, misalnya al‑Qurthubi. la mengatakan “aku tidak melihat kehadiran huruf al­-Muqatta’ah kecuali terdapat pada awal surah. Dan aku sendiri tidak menangkap maksud-maksud tertentu yang dikehendaki oleh Allah SWT”. Namun hal ini ditentang oleh Ibnu Qatadah dengan pernyataannya “tidak mungkin Allah SWT menurunkan sesuatu yang ada di dalam al-Qur’an kecuali akan memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi hamba‑Nya, dan tentu ada sesuatu yang bisa menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki-Nya”.
Sebagian ulama mengatakan bahwa “huruf‑hu-ruf muqatta’ah tersebut diambil dari sifat‑sifat Allah, yang dengannya terkumpulkan banyak sifat. Hal ini merupakan salah satu bentuk seni dari “seni meringkas” yang seringkali dilakukan oleh orang-orang Arab di saat mereka bermain syair”.13 Misal-nya terdapat penafsiran sebagai berikut, alif‑lam-mim, artinya “Aku Allah, Aku Mengetahui”. Alif-lam-mim-raa’, arti-nya “Aku Allah, Aku Mengeta-hui dan Me-lihat”. Alif‑lam‑mim‑shad, artinya “A-ku Allah, Aku Mengetahui dan Memberikan rinci-an”.14
Ada juga yang menafsirkan huruf‑huruf muqatta’ah dengan menisbatkan pada nama‑nama sahabat pada surat‑surat al-Qur’an tertentu. Misalnya “sin” dinisbatkan pada sahabat Sa’ad bin Abi Waqash, “mim” pada sahabat al­-Mughirah, “nun” pada Usman bin Affan, “ha” pada sahabat Abu Hurairah. Surat‑surat yang diawali dengan huruf hijaiyah seringkah berbicara tentang al ­Kitab, al-Tanzil dan atau al‑Qur’an, seperti firman Allah SWT berikut:

الم  ذلك الكتب لاريب فيه ....... (البقرة : ٢-١)
الم. اللٌه لاالَه الاٌَ هو الحي القَيوم نزل عليك الكتب بالحق.......... (ال عمران : ٢-١)
المص، كتاب انزل اليك ......... (الآعرف : ٢-١)
يس، والقرأنِ الكريم ......... ( يس : ٢-١)
ص، والقرأن الذكرى ........  
ق، والقرأن المجيد ....... ( ق  : ٢-١)
الم، تنزيل الكتاب .......... ( السجدة : ١-٢)
حم، تنزيل الكتاب ..........  المؤ من : ١-٢
Kecuali tiga surat, yakni Maryam, al‑Ankabut dan al-Rum. Imam Fakhurrazi, seperti dikutip oleh Aisyah bintu al‑Syathi, lebih memperhatikan kepada hikmah pembukaan surah yang diikuti kata al-Kitab, al‑Tanzil atau al‑Qur’an. la menyatakan “hikmah dari itu semua, bahwa al‑Qur’an yang agung itu diturunkan secara berat (tsaqil), dan setiap surah yang awalnya menerangkan tentang al-Qur’an, al‑Kitab dan al‑Tanzil, dan diawali oleh sesuatu imbuhan, maka menjadi kewajiban bagi yang diajak bicara untuk mendengarkan ayat selanjutnya. Akan tetapi tsaqilnya al‑Qur’an bukanlah ditunjukkan dan dikhususkan oleh pembukaan surah melalui huruf‑huruf itu, karena ada pula ayat-ayat yang berbicara tentang al-Qur’an, al‑Tanzil dan menyebutkan al‑Kitab pada ayat‑ayat awalnya, tidak dibuka oleh huruf‑huruf itu, seperti surah al­-Kahfi, al‑Furqan, al‑Qadr, al‑Zumar.

C.  Kesimpulan
Demikianlah keistimewaan al‑Qur’an dari segi makna dan kebahasaan. fawatih al-suwar merupakan salah satu realitas keistimewaan misterius yang terdapat di dalam al‑Qur’an. Pemaparan tentang fawatih al‑suwar, khususnya menyangkut al‑ahruf al-Muqatta’ah tidak banyak, bahkan hampir tidak ada yang berhasil mengungkap latar belakang ataupun keterangan yang  secara historis bisa membuktikan hubungan-hubungan fawatih al-suwar.

 
 

Selasa, 17 Juli 2012

ASBAB AN-NUZUL Al-QUR'AN Part II

     Lafal yang Digunakan dalam Asbab Al- Nuzul
Sighat atau ta’bir adalah ungkapan yang digunakan para shahabat dari para perowi untuk menunjukkan sebab turunnya ayat al-Qur’an, ada beberapa bentuk yaitu :
   1. Mengungkapkan dengan lafal asbab al nuzul secara tegas, seperti: secara definitive menunjukkan sebab nuzul yang sharih (tegas), tidak mengandung makna lain.
   2. Tidak diungkapkan dengan lafal yang jelas, tetapi dengan memasukan ta’qibiyah pada kata nazala, seperti: ungkapan ini menunjukkan makna yang shahih, bahwa peristiwa itu menjadi sebab turunnya ayat.
3.   Tidak diungkapkan dengan lafal, tetapi dengan dipahami dari konteksnya, seperti Rasul ditanya tentang ruh, wanita haid dan lain-lain. Hal tersebut sudah tentu sharih karena secara eksplisit tertuang dalam ayat yang bersangkutan.
4.  Perowi terkadang mengungkapkan dengan lafal yang tidak jelas, seperti makna tersebut kadang menunjukkan sebab turun ayat, kadang menunjukkan hukum terkandung dalam ayat tersebut. Menurut Ibn Taimiyah kata-kata seperti itu terkadang menyatakan sebab turun dan terkadang menyatakan kandungan hukum meskipun sebabnya tidak ada.
Shigat pada ungkapan pertama, kedua dan ketiga merupakan bentuk yang sharih, sedangkan yang keempat merupakan bentuk yang muhtamal. Apabila ditemukan riwayat yang satu berbentuk sharih dan yang lainnya berbentuk muhtamal maka yang dijadikan pegangan yang berbentuk sharih.
Kegunaan Asbab Al-Nuzul dalam Penafsiran Al-Qur’an
Betapa kelirunya orang yang mengatakan bahwa tidak ada gunanya mempelajari ilmu asbab al nuzul. Sangat urgen untuk diketahui mengingat faidah dan kegunaannya yang sangat besar dalam memahami ayat al-Qur’an terutama tafsir. Walaupun pada masa turun al-Qur’an, para sahabat berbangsa Arab asli, memahami dan menguasai betul bahasanya. Akan tetapi apabila tidak mengetahui sebab turunnya ayat akan menimbulkan pemahaman dan penafsiran yang keliru sehingga berakibat fatal.
Seperti yang dialami sahabat Usman  ibn Ma’zum dan Amr ibn Ma’addi yang salah menginterprestasikan surat al-Maidah ayat 93. Keduanya menganggap bahwa orang Mukmin boleh minum khamar, padahal sebab turun ayat tersebut ketika diharamkannya khamar ada yang bertanya bagai-mana orang Mukmin yang sudah meninggal se-dang ia dulu minum khamar.
Keponakan Siti Aisyah, Urwah ibn Zubair bingung dengan keharusan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah dalam ibadah haji, padahal dalam su-rat al-Baqarah ayat 158 diungkapkan dengan “tidak berdosa”. Padahal sebab turunnya ayat tersebut waktu itu lari antara Shafa dan Marwah adalah kebisaaan orang jahiliyah, mereka menyimpan berhala Isaf dan Nailah di bukit itu untuk diusap.
Ketika Islam lahir patung tersebut di-hancurkan dan orang Muslim tetap merasa ragu untuk melakukan sa ‘i di tempat itu.
Marwan ibn Hakam merasa bingung dalam memahami surat al-Baqarah ayat 188, tentang siksaan bagi orang yang merasa senang untuk mendapatkan pujian dengan apa-apa yang belum ia kerjakan, padahal ayat itu turun tentang orang Yahudi yang ditanya sesuatu oleh Rasul tetapi mereka menyembunyikan dan menjawabnya dengan yang lain.
Kemudian dalam surat al-Baqarah ayat 115, yang secara eksplisit menunjukkan pelaksanaan shalat boleh menghadap kemana saja, tidak wajib menghadap kiblat. Padahal ayat tersebut sebab turunnya untuk orang yang sedang safar, shalat di atas kendaraan.
Oleh karena itu al Wahidy berkata, “tidak mungkin dapat mengetahui penafsiran ayat al-Qur‘an tanpa mengetahui kisahnya dan sebab tu-runnya”.
Daqiq al-‘Ied berkata, “penjelasan sebab turunnya ayat adalah metode yang kuat dalam memahami makna-makna yang terkandung dalam al‑Qur’an”. Ibn Taimiyah berkata, “mengetahui sebab-sebab turunnya ayat membantu untuk memahami ayat al-Qur’an, karena mengetahui tentang sebab akan membawa kepada pengetahuan tentang akibat”.
Al-Zarqani merinci guna dan faidah mempelajari ilmu asbab al-nuzul sebagai berikut:
1.   Untuk mengetahui kandungan hikmah ajaran Allah SWT dengan jelas, terutama yang berhubungan dengan syari’at dan berkaitan erat dengan tasyri’.
2. Mengetahui asbab al-nuzul membantu seseorang dalam memahami ayat sehingga terhindar dari kekeliruan dan keraguan atau terhindar dari kemubhaman dan kemusykilan.
3.   Memudahkan hafalan dan memberikan atsar bagi orang yang mendengarkannya.

 Kaidah Menetapkan Hukum Dikaitkan dengan Asbab Al-Nuzul
Dalam menetapkan hukum yang terkandung dalam ayat-ayat yang bersifat umum, sama sekali tidak terikat oleh sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Seperti peristiwa qadzaf tuduhan berzina Hilal ibn Umayah terhadap istrinya, maka turun ayat-ayat li’an :

والذين يرمون المحصنات ثم لَم يأْ توا باربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلده ... ان كان من الصادقين
Lafal الذين adalah isim mausul berbentuk jamak, menunjukkan bahwa ayat tersebut bersifat umum, sedangkan yang menjadi sebab turunnya ayat ini bersifat khusus, yakni kepada Hilal ibn Umayah yang menuduh istrinya berzina dengan Syuraik ibn Sahma. Bentuk ayat yang bersifat umum ini tentu saja tidak hanya berlaku bagi Hilal dan istrinya, akan tetapi berlaku juga bagi setiap orang yang berbuat seperti itu, sesuai dengan keumuman ayat tersebut, maka lahirlah kaidah ushul fiqih.                                                                                        
Dan ayat-ayat yang diberlakukan keumumannya itu, bukan hanya ayat-ayat hukum saja tetapi mencakup ayat-ayat ancaaman, sindiran, teguran dan lain-lain. Tetapi ada juga sebagian yang berpendapat bahwa ayat tersebut tetap harus berlaku khusus sesuai dengan kekhususan sebabnya. Oleh karena itu mereka berpegang pada kaidah ushul fiqh yang sebaliknya.
Dengan kaidah ini, hukum pada ayat tersebut menjadi sangat terbatas, hanya diberlakukan khusus pada peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat tersebut. Sedangkan untuk menetapkan hukum bagi orang yang datang kemudian dan mengalami peristiwa yang sama, maka dilakukan dengan jalan analogi (qiyas) atau berpegang pada hadits Nabi.
Dilihat dari segi penerapan hukum pada ayat tersebut, kedua pendapat di atas tidak ada bedanya, karena keduanya sama-sama melaksanakan hukum qadzaf. Akan tetapi bila dilihat dari segi argumenttasinya memang berbeda. Mayoritas ulama cenderung berpegang pada qaidah pertama bahwa hukum qadzaf atas orang orang di kemudian hari yang tentu diluar yang menjadi sebab turunnya ayat adalah sama, yaitu berdasarkan nash al-Qur’an yang bersifat Qath’i wurudnya. Sedangkan penerapan hukum yang kedua atas dasar analogi sebagai hasil ijtihad sudah tentu penentuan hukum tersebut bersifat dzanny dan harus disesuaikan dengan syarat-syarat qiyas.
Menurut al Zarqani telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama bahwa ayat yang menggunakan lafal khusus dan penerapan hukumnya pun terbatas pada orang yang menjadi sebab turunnya, seperti pada surat al-Lail ayat 17-21. Ayat tersebut turun pada Abu Bakar al Siddiq, sehingga menurut para mufassir kata “الأتقى“ di sana yang dimaksud adalah Abu Bakar, karena lafalnya menggunakan alif lam al-Ahdiyah, maka tentulah lafal ini diperuntukkan bagi orang yang ayat tersebut turun padanya. Dari Urwah bahwa Abu bakar al Siddiq memerdekakan tujuh orang hamba sahaya Islam yang semuanya disiksa, yaitu: Bilal Amir ibn Fuhairah, al Nahdiah dan putrinya, Ibnu Isa dan dua orang dari Bani Mau’il.
Analisis
Semua paparan diatas membahas tentang ayat-ayat yang ada asbab al-nuzulnya, maka bagaimana, dengan ayat-ayat Allah yang diturunkan tanpa sebab yang mendahuluinya? baik berupa kisah-kisah umat terdahulu, peristiwa yang telah lalu, khabar-khabar yang akan terjadi, bahkan keadaan kiamat, nikmat Syurga dan siksa Neraka.
Menurut Hashbi ash Shiddieqy banyak ayat al-Qur’an yang Allah SWT turunkan sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang lurus. Dan Allah menjadikan ayat-ayat itu mempunyai hubungan menurut siyaq Qur’any dengan ayat-ayat sebelumnya dan ayat-ayat sesudahnya. Diturunkannya bukan sebagai jawaban bagi suatu pertanyaan dan bukan pula sebagai penjelasan bagi suatu peristiwa yang terjadi ahli-ahli tafsir terdahulu tidaklah berlebihan, ketika mereka kadang mendahulukan menggunakan penjelasan tentang hubungan ayat yang satu dengan yang lainnya, ketimbang mengetahui asbab al nuzulnya sehingga ditemukan atau terwujudnya keserasian antara ayat-ayat tersebut. Tetapi untuk mencari wajah munasabah itu tetap dibutuhkan asbab al nuzul, seperti dalam surat an-Nisa: 51
Setelah berselang kemudian pada ayat 58 seolah-olah berceritra tema baru, yaitu tentang menunaikan amanat. Pada ayat 51 asbabnya tentang seorang ahli kitab, yaitu Ka’ab ibn al Asyraf sesudah perang Badar sedangkan ayat 51 asbabnya mengenai Usman ibn Talhahal Abdary seorang penjaga pintu ka’bah masa futuh Mekkah yang berselang enam tahun. Jadi menurut para ahli tahqiq bahwa ahlul kitab yang menemukan dalam kitab mereka tentang kebangkitan Nabi SAW dan sifatnya. Kepada mereka telah diambil suatu perjanjian bahwa mereka tidak boleh menyembunyikan amanah, tetapi mereka berkhianat, keadaan penghkianatan itu sama dengan orang yang menerima amanah tetapi tidak mau menyampaikan kepada ahlinya disitulah wajah munasabah antara a-yat tersebut.
Sesungguhnya hubungan ayat-ayat al-Qur’an satu dengan lainnya bergandengan kalimat-kalimatnya dan jumlah-jumlahnya, kenyataannya serta keserasian sebahagian dengan yang lainnya terdapat suatu ilmu yang besar, yang di dalammya tersimpan keindahan susunan al-Qur’an dan di bawah sinar ilmu inilah ditafsirkan kebanyakan hukum-hukum al-Qur’an dan syari’at-syari‘atnya.
Ilmu tersebut adalah ilmu munasabah yang dipelopori oleh Imam Abu Bakar al Naisabury (w. 324 H) di Bagdad. Ia merendahkan nilai para ulama di ngerinya lantaran tidak mengetahui wajah munasabah dalam ayat-ayat al-Qur’an. Beliau selalu bertanya apabila dibacakan ayat atau surat di hadapannya, mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat ini dan mengapa ayat ini diletakkan sesudah ayat ini? Untuk mengetahui secara rinci tentang ilmu ini, akan kita bahas dalam tulisan selanjutnya. Kalau menganalisa keterkaitan antara asbab al-nuzul dengan ilmu munasabah di atas, maka apakah bisa ayat-ayat yang turunnya tanpa asbab al-nuzul terlebih dahulu (untuk mengetahui kejelasannya) diteropong lewat ilmu munasabah? Wallahu ‘alam bi al shawab