Kamis, 12 Juli 2012

KISAH DALAM AL-QUR'AN


Dari segi bahasa, kata kisah berasal dari kata bahasa Arab al qashshu atau al qishshalu yang berarti cerita. Kisah juga berasal dari kata al qa-shshu yang berarti mencari atau mengikuti jejak. Qashash berarti berita yang berurutan. Al qishash berarti u-rusan, berita perkara dan keadaan.
Qashash al-Qur’an berarti pemberitaan Qur’an tentang hal ikhwal untuk yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa‑peristiwa yang telah terjadi. Di dalam al-Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa‑bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan mempesona.
Macam‑macam Kisah dalam Al Qur’an
Kisah dalam al-Qur’an terbagi dalam tiga macam, yaitu:
  1. Kisah para Nabi, kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan‑tahapan dan perkembangan dakwah serta akibat-akibat diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan, seperti, kisah Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, dan lain‑lain.
  2. Kisah‑kisah yang berhubungan dengan peristiwa‑peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Seperti kisah orang yang keluar dari kampung halaman yang beribu‑ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Thalut dan Jalut, dua orang putra Nabi Adam as, dan kisah lainnya.
  3. Kisah‑kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, seperti perang Badar dan perang Uhud dalam surah Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah at-Taubah, dan lain-lain.
  4.  Kisah‑kisah orang dahulu dalam al-Qur’an termasuk dalam katagori berita­-berita gaib. Hal gaib ini di dalam Islam terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu :
  • Gaib masa lampau, yaitu kisah orang-orang terdahulu, seperti: kisah Nabi Adam as dengan Iblis, memakan buah dari pohon (terlarang), terusirnya ke bumi. Kisah ini merupakan hal gaib masa lampau, karena merupakan peristiwa-peristiwa di masa lampau, yang telah usai atau lewat dan menjadi cerita‑cerita klasik. Kisah‑kisah itu merupakan hal gaib bagi kita karena kita tidak menyaksikan peristiwanya, ti-dak mendengarkan dan mengalaminya sendiri.
  •  Gaib masa kini, seperti alam‑alam gaib yang sekarang ada, yang memiliki identitas, kehidupan dan eksistensinya, tetapi kita tidak dapat melihatnya dan tidak dapat mendengarnya, se-perti: alam Malaikat dan alam syetan, bahkan eksistensi (wujud) Allah SWT termasuk dalam hal gaib masa sekarang karena Dia ada, namun kita tidak dapat melihatnya.
  • Gaib masa depan, seperti ayat‑ayat dan hadist-hadist sahih yang berbicara tentang hal-hal dan peristiwa‑peristiwa yang akan datang dan seja-rah umat manusia, seperti: tanda‑tanda kiamat, turunnya Isa ke bumi, keluarnya Dajjal, Ya’juj dan Majuj, babak-babak peristiwa kiamat yang dimulai dari tiupan hari kebangkitan dan ber-akhir dengan memasukkan orang‑orang muk-min ke dalam surga dan orang‑orang kafir ke dalam neraka. 
    Menurut Shaleh Abdul Fattah al Khalidy bah-wa dalam al Qur’an terdapat beberapa indikator seputar pengamatan terhadap kisah orang‑orang dahulu dan seputar manhaj/metodologi ilmiah ob-jektif yang benar. Berikut ini adalah beberapa in-dikator dan petunjuk arahan Qur’ani itu, yaitu :
    1.   Ia temasuk hal gaib di masa lampau. Kisah-kisah orang dahulu dalam al-Qur’an termasuk dalam katagori berita‑berita gaib.
    2.   Anda tidak hadir di tengah‑tengah mereka, me-ngingat bahwa kisah orang‑orang terdahulu itu adalah termasuk hal gaib masa lampau, maka hanya Allah SWT yang mengetahuinya, hanya Dia-lah yang mengetahui peristiwa dan rincian kisahnya.
    3.   Tidak mengetahui mereka kecuali Allah SWT. Al-Qur’an memberitahukan kepada kita bahwa sebagian peristiwa dari kisah orang‑orang dahulu, para pelaku, dan nama‑nama mereka tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT semata. Ini berarti tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.
    4.   Janganlah kamu menanyakan tentang mereka (orang-orang dahulu) kepada seorang pun diantara mereka (ahlul kitab). Al-Qur’an secara terang‑terangan melarang kita menanyakan kepada ahlul kitab tentang cerita orang‑orang dahulu, rincian kisah-kisah mereka, serta penentuan nama orang-orangnya, tempatnya dan peristiwa-peristiwanya. Larangan ini disebutkan disela‑sela penyebutan kisah pemuda-pemuda ashabul kahfi dan perselisihan diantara orang‑orang dahulu tentang jumlah pemuda ashabul kahfi
    5.  Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sebuah ayat dari al-Qur’an menunjukkan kita kepada manhaj Qur’ani dalam penelitian dan ilmu pengetahuan serta dalam memelihara potensi akal untuk tidak tereksploitasi dalam hal yang tidak bermanfaat.
    Imam Sayyid Qutbh mengatakan, dalam me-nafsirkan ayat itu “sesungguhnya ayat ini me-negakkan manhaj (konsep/metodologi) leng-kap bagi akal, hati dan jiwa yang mencakup metodologi ilmiah yang dikenal oleh umat ma-nusia baru‑baru ini, serta menambahkan pada-nya konsistensi jiwa dan perasaan selalu berada dalam pengawasan Allah SWT.
    Tatsabbut (konfirmasi/kehati‑hatian) terhadap setiap berita, fenomena dan dinamika sebelum memberikan penilaian padanya adalah merupakan seruan (dakwah) al-Qur’anul Karim dan merupakan konsep Islam yang teliti. Manakala jiwa dan akal telah konsisten dengan manhaj ini maka pasti tidak akan tersisa lagi tempat bagi ilusi dan khurafat dalam dunia akidah, ti-dak tersisa tempat bagi prasangka dan praduga kabur dalam dunia hukum, peradilan dan inter-aksi sosial, tidak tersisa tempat bagi hipotesis dangkal dan asumsi ilusif dalam dunia riset, eksperimen, dan sains.
    6.   Jika datang kepadamu seorang fasik memba-wa berita maka periksalah”.
    Ayat ini memberikan kepada kita sebuah kon-sep Qur’ani yang ilmiah dalam memeriksa, menyaring dan mengecek berita jika sumbernya dari orang‑orang fasik. Seolah‑olah mereka tidak mengetahui orang-orang Yahudi adalah suatu kaum yang tidak mempunyai pengetahuan. Pengetahuan mereka tidak lain hanya sekedar angan­-angan, menduga-duga, prasangka dan klaim.
 Faedah Kisah‑kisah dalam Al-Qur’an
Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, faedah kisah-kisah dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1.   Menjelaskan dasar‑dasar da’wah kepada agama Allah dan menerangkan pokok-pokok syari’at yang disampaikan oleh para Nabi.
2.   Mengokohkan hati Rasul dan hati umat Muhammad SAW dalam beragama dengan agama Allah, dan menguatkan kepercayaan para mu’min tentang datangnya pertolongan Allah SWT dan kehancuran kebatilan.
3.   Mengabadikan usaha‑usaha para Nabi dan pernyataan bahwa Nabi‑Nabi dahulu adalah benar.
4.  Menampakkan kebenaran kerasulan Nabi Muhammad SAW dalam dakwahnya dengan dapat beliau menerangkan keadaan-keadaan umat yang telah lalu.
5.   Menyingkap kebohongan‑kebohongan ahlul kitab yang telah menyembunyikan isi kitab‑kitab mereka yang masih murni.
6.   Menarik perhatian para pendengar yang diberi-kan pelajaran kepada mereka.
 Hikmah Berulang‑ulang Disebut Qashash dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an melengkapi berbagai kisah yang diulang-ulang untuk menjelaskan di beberapa surat. Kadang‑kadang kisah disebut berulang‑ulang kali dalam bentuk yang berbeda‑beda, kadang‑kadang pendek, kadang-kadang panjang. Diantara hikmah yang dapat dipetik diantaranya, yaitu:

1. Menandaskan kebalaghahan al-Qur’an dalam bentuk yang paling tinggi. Diantara keistime-waannya ialah, menerangkan sebuah nama da-lam berbagai macam susunan. Dan tiap‑tiap tempat disebut dengan susunan perkataan yang berbeda dari yang telah disebutkan
2.   Menampakkan kekuatan i’jaz. Menyebut suatu makna dalam berbagai bentuk susunan perka-taan yang tidak dapat ditantang salah satunya oleh para sastrawan Arab, menjelaskan bahwa al-Qur’an itu benar‑benar datang dari sisi Allah SWT.
3.   Memberkan perhatian yang penuh kepada ki-sah itu. Mengulang‑ngulang sebutan adalah sa-lah satu dari pada ta’kid dan salah satu dari tanda‑tanda besarnya perhatian, seperti keadaannya kisah Nabi Musa as dengan Fir’aun.
4.   Karena berbeda tujuan yang karenanyalah di-sebut kisah itu. Di suatu tempat diterangkan sebagiannya, karena itu saja yang diperlukan dan di tempat-­tempat yang lain disebut lebih sem-purna karena yang demikianlah yang dikehen-daki keadaannya.
  Tujuan Kisah dalam Al-Qur'an
Kisah‑kisah dalam al-Qur’an secara umum ber-tujuan kebenaran dan semata‑mata tujuan keaga-maan. Jika dilihat dari keseluruhan kisah yang ada maka tujuan‑tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

1.  Salah satu tujuan cerita itu ialah menetapkan adanya wahyu dan kerasulan. Dalam al-Qur’an tujuan ini diterangkan dengan jelas, diantaranya dalam (QS.12:2-3), dan (QS. 28:3). Sebelum mengutarakan cerita Nabi Musa as, lebih dahulu al-Qur’an menegaskan dengan QS. 28: 3.
2.   Menerangkan bahwa semua agama itu dasar-nya satu, yaitu dari Tuhan Yang Maha Esa (QS. 7: 59)
3.  Menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah SWT, dari masa Nabi Nuh as sampai dengan Nabi Muhammad SAW, bahwa kaum muslimin semuanya merupakan satu umat, bahwa Allah Yang Maha Esa adalah Tuhan bagi semuanya. (QS. 21:51-92)
4.  Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh Nabi‑Nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa.
5.   Menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan Nabi Ibrahim as, secara khusus dengan agama‑agama, bangsa‑bangsa Israil pada umumnya dan menerangkan bahwa hubungan ini lebih erat dari pada hubungan yang umum antara semua agama. Keterangan ini berulang-ulang disebutkan dalam cerita Nabi Ibrahim as, Musa as dan Isa as.
 Relevansi Kisah dengan Sejarah
      Relevansi kisah dengan sejarah adalah sebagai berikut:
 1.   Kisah‑kisah dalam al-Qur’an itu memiliki realitas yang diyakini kebenarannya, termasuk peristiwa yang ada di dalamnya. Ia bagian dari ayat‑ayat yang diturunkan dari sisi Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
2.   Kisah‑kisah dalam al-Qur’an dimaksudkan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuannya yang asli, yaitu tujuan keagamaan yang meriwayatkan adanya kebenaran, pelajaran dan peringatan.
3.  Al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa secara kronologis dan tidak memaparkannya secara terperinci. Hal ini dimaksudkan sebagai peringatan tentang hukum Allah SWT dalam kehidupan sosial serta pengaruh baik dan buruk dalam kehidupan manusia.
4.  Sebagian kisah dalam al-Qur’an merupakan petikan sejarah yang bukan berarti menyalahi sejarah, karena pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan arkeologi sangat sedikit untuk mengungkapkan kisah dalam al-Qur’an dalam kerangka pengetahuan modern.

2 komentar:

  1. Terima kasih Bapak... ini sangat berguna dan bermanfaat sekali!

    BalasHapus
  2. kunjungi juga:
    http://www.kumpulankuliah.net/2016/04/kisah-kisah-qashash-dalam-al-qur.html

    BalasHapus