Selasa, 17 Juli 2012

ILMU ASBAB AN-NUZUL DALAM AL-QUR'AN



 
Pengertian Asbabun Nuzul
Asbab nuzul artinya sebab‑sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an, maksudnya adalah peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi di masa Rasulullah SAW yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat al-Qur’an, baik berupa jawaban, penegasan atau pun teguran terhadap peristiwa tersebut. Menurut al Zarqani :

سبب النزول هو ما نزلت الأية هو الأيات محدثة او مبية لحكمة ايٌام وقومه.
Artinya: Sabaab al nuzul adalah diturunkannya su-atu ayat atau beberapa ayat sebagai jawaban peristiwa atau sebagai penegasan hukumnya yang terjadi waktu itu. Menurut Shubhi al Shalih:

سبب النزول هو ما نزلت الأية اَوِ الأَيَا ت بِسَبَبِهِ مُتَضمٌِنَةًًً له او محيبة عنه او مبينه لحكمه زمن وقوعه
Artinya: Saabab al nuzul adalah sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu atau sebagai jawaban terhadap sebab itu atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.
Kedua definisi tersebut di atas satu sama lainnya saling melengkapi, keduanya memberikan pengertian bahwa sebab turun suatu ayat kadang kala diawali dengan bentuk peristiwa (sebagai reaksi dari peristiwa tertentu), atau sebagai jawaban dari pertanyaan, atau sebagai penjelasan dan penegasan hukumnya.
Bentuk Bentuk Asbabun Nuzul
Yang dimaksud dengan peristiwa adalah kejadian di zaman Nabi Muhammad SAW, baik kejadian tersebut langsung dialami oleh beliau, keluarganya ataupun para sahabatnya. Peristiwa tersebut antara lain:
  1. Peristiwa yang langsung dialami oleh Rasulullah, tentang kisah Ummi Maktum ia seorang buta, minta diajarkan tentang Islam tetapi Rasul tidak menghiraukannya karena beliau sedang menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, maka turun  surat Abasa ayat 1‑10 sebagai teguran kepada Rasulullah SAW.
  2. Perististiwa yang dialami keluarga Rasul, tentang cerita dusta dan fitnah yang menimpa Ummul Mukminin Siti ‘Aisyah yang diisukan bersama Sharman ibn Mu’aththal, maka turun ayat An-Nuur ayat 11‑20 tentang kesucian diri Siti ‘Aisyah.
  3. Peristiwa yang dialami para sahabatnya, tentang Mazid seorang pedagang yang ingin menikahi anak seorang wanita penghibur, maka turun surat An‑Nuur ayat 3.
 Dilihat data bentuknya, peristiwa itu ada tiga:
1.  Peristiwa yang berupa pertengkaran, seperti suku Aus dan suku Khozroj, maka turun surat al-Imran mulai ayat 100 yang dengan tegas memerintah orang-orang yang beriman untuk menjauhi pertengkaran dan senantiasa saling menjunjung persatuan dan kesatuan.
2.   Peristiwa yang berupa kesalahan mendasar, seperti kisah Ali yang menjadi imam salat dalam keadaan mabuk. Sehingga ia melakukan kekeliruan dalam membaca surat al-Kafirun yang berakibat fatal, maka turun surat an-Nisa ayat 43, sebagai larangan shalat bagi orang yang mabuk.
3.   Peristiwa yang berupa harapan seseorang, seperti yang diriwayatkan Bukhari dari Anas bahwa Umar berkata, ”aku sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal” aku katakan kepada Rasul bagaimana kiranya makam Ibrahim dijadikan tempat shalat maka turun surat.
      “Aku katakan pada Rasul bahwa orang yang masuk ke tempat istri-istrimu ada yang baik dan jahat, bagaimana sekiranya mereka bertabir, maka turun surat al‑Ahzab ayat 53. Dan ketika para istri Rasul cemburu maka aku katakan pada mereka, ”Jika Rasul menceraikan kalian, maka Allah akan memberi ganti yang lebih baik dari kalian,” maka turun ayat yang senada yaitu dalam surat at-Tahrim ayat 5.
Sedangkan “pertanyaan”, dilihat dari motivasinya terbagi dua :
  1. Pertanyaan itu datangnya dari kaum Muslimin, mereka bertanya kepada Rasul semata-mata  karena mereka ragu, ingin tabu dan mengharapkan penjelasan. Seperti pertanyaan mereka tentang harta yang harus diinfakkan maka turun surat al-Baqarah ayat 219.
  2. Pertanyaan itu datangnya dari kaum musyrikin Quraisy atau ahli kitab mereka bertanya bukan karena ragu atau ingin tahu tapi hanya sekedar ingin menguji kerasulan Muhammad SAW, seperti pertanyaan mereka tentang ruh, terjadinya hari kiamat dan sejenisnya.

Dan pertanyaan tersebut bila dikaitkan dengan waktu terbagi tiga :
1.   Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah lalu seperti pertanyaan tentang Dzul Qarnain surat al-Kahfi ayat 63.
2.   Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang terjadi di kala itu, seperti pertanyaan tentang harta infak, pertanyaan tentang ruh dalam surat al-Isra: 85
3.   Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang belum terjadi seperti pertanyaan tentang kapan hari kiamat.
Dan yang dimaksud sebagai penjelasan dan penegasan hukum seperti tentang dlihar yang diriwayatkan Ibnu Majah, Abi Hatim dan lain lain. dari  siti ‘Aisyah ra, dia berkata “Maha Suci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu, aku mendengar Khaulah Binti Tsa’labah yang mengadu tentang suaminya Aus Ibn al Shamit”.7 Kepada Rasul ia berkata “ya Rasullullah, masa mudaku telah berlalu, perutku telah keriput aku telah tua bangka dan tidak akan melahirkan anak lagi, suamiku mendliharku, ya Allah aku mengadu kepada-Mu”. Maka turun surat al-Mujadalah ayat 1-6 yang menetapkan hukum dlihar dan sekaligus sebagai larangan bagi setiap suami untuk melaku-kannya.
Cantoh-contoh di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu diturunkan dengan didahului oleh  suatu sebab tertentu, namun demikian tidak semua ayat al-Qur’an selalu didahului oleh suatu sebab, ada juga ayat yang turunnya tidak didahului oleh suatu sebab tertentu, misalnya sebagian ayat yang menyangkut tentang keimanan, kewajiban, dan syari’at agama.
 Periwayatan Asbab Al-Nuzul
Satu-satunya jalan untuk mengetahui asbab al-nuzul hanya dengan periwayatan yang diterima dari ulama salaf setiap periwayatannya tentu ada yang shahih dan tidak shahih (diterima dan dittolak) oleh karena itu dibutuhkan penyeleksian dan penelusuran para rowi yang dapat dipercaya seperti halnya dalam periwayatan hadits, hanya periwayatan yang paling tinggi derajatnya dalam asbab al-nuzul adalah mauqufan tetapi dihukumi dengan marfu’ yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Mayoritas ulama berpendapat bahwa setiap asbab al-nuzul dari kalangan para sahabat wajib diterima, selama tidak ada riwayat yang lebih kuat yang melemahkannya.
Sebagaimana yang diungkapkan al-Wahidy bahwa tidak dibenarkan membicarakan sebab-sebab turunnya al‑Qur’an kecuali melalui periwayatan dan mendengar dari orang-orang yang menyak-sikan turunnya ayat dan mereka mengetahui serta memahami sebab-sebab turunnya dan membahas pengertiannya.
Dan sebagai sumber riwayat ini tiada lain adalah para sahabat. Mereka memiliki semangat dan intensitas keimanan yang tinggi dalam mengikuti perjalanan turunnya wahyu serta kecintaan mereka kepada Nabi, telah mendorong mereka untuk memberikan perhatian maksimal kepada apa yang dibawa Nabi SAW.
Sebagian para sahabat, seperti Ibnu Masud, Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya berkata bahwa “tiadalah turun sesuatu ayat kecuali aku mengetahui terhadap apa ayat itu turun terhadap siapa ayat itu turun dan dimana, ayat itu turun”. 
Pernyataan itu seharusnya tidak difahami secara harfiah, tetapi dapat difahami melalui beberapa kemungkinan :
  • Pertama, dengan pernyataan seperti itu mereka bermaksud mengungkapkan betapa kuatnya perhatian mereka terhadap al-Qur’an dan mengikuti setiap keadaan yang berhubungan dengannya.
  • Kedua, mereka berbaik sangka dengan segala apa yang mereka dengar dan saksikan pada masa Rasul dan menginginkan agar orang mengambil apa yang mereka ketahui sehingga tidak akan lenyap dengan berakhirnya kehidupan mereka. Bagaimanapun suatu hal yang logis bahwa tidak mungkin semua asbab al-nuzul dari semua ayat yang mempunyai asbab al-nuzul bisa mereka saksikan.
  • Ketiga, para periwayat menambahkan dalam periwayatannya dan membahasakannya kepada sahabat. Hasbi al Siddiqie menambahkan, “kita sudah mengetahui bahwa para sababat memberi perhatian yang penuh kepada al-Qur’an. Mereka mengumpulkannya di dada-dada mereka dan di halaman kertas. Akan tetapi karena al-Qur’an itu turun kepada Nabi seketika, sesudah terjadi suatu kejadian atau beberapa kejadian, maka tentu para sahabat tidak mungkin menyaksikan sendiri sebab-sebab turunnya ayat. Walaupun mereka hapal ayat yang mereka dengar, namun tak memungkinkan segala dzat yang wajib mereka hafal dapat mereka ketahui asbab nuzulnya. Oleh karenanya tak heran apabila ada sahabat yang tidak mengetahui selengkapnya”.

Namun demikian, mereka bukan saja berupaya menghafal ayat-ayat al-Qur’an dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya tetapi mereka juga, melestarikan sunnah Nabi. Jadi segala apa yang mereka sampaikan tentang sebab-sebab turunnya al-Qur’an dapat diterima, karena mereka menyampaikannya berdasarkan keimanan, ketaqwaan dan kewara’an.
Ibnu Salah al Hakim menegaskan dalam ilmu hadits, apabila seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat al-Qur’an, bahwa ayat tersebut turun berkenaan, dengan suatu peristiwa, maka hadits itu dipandang hadits musnad yang periwayatannya bersambung dari mulai penulis sampai kepada sahabat dan Nabi. Dengan demikian setiap asbab al-nuzul yang diriwayatkan oleh seorang sahabat adalah diterima, sekalipun tidak dikuatkan oleh riwayat lainnya. Sedangkan periwayatan asbab al-nuzul dengan hadits mursal, yang sanad-nya hanya sampai ke tabi’in, menurut imam al Suyuti periwayatannya tidak dapat diterima kecuali apabila terpenuhi dua syarat sebagai berikut :
1.   Apabila mursal tersebut dishahihkan dengan periwayatan lainnya.
2.   Rawinya harus terdiri dari para imam tafsir ke-namaan yang langsung menerimanya dari para sahabat, seperti imam Mujahid ibn Jabir (w. 103 H.) mengambil ilmu tafsirnya dari Ibn Abbas, Ikrimah Naula ibn Abbas (w. 105 H.) mengambil ilmu tafsirnya dari ibnu Abbas, Sa’id ibn Jubair (w. 94 H.) mengambil ilmu tafsirnya dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
Telah diketahui bahwa ulama salaf itu sangatlah wara’ namun kewara’an mereka tidak menghalangi untuk menerima khabar-khabar dari para sahabat tentang sebab-sebab turunnya ayat, ini membuktikan bahwa riwayat para sahabat tentang asbab al-nuzul dapat diterima sebagai hujjah dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, bahkan ulama salaf mengatakan “sesungguhnya perkataan sahabat tentang sesuatu yang tak dapat dicapai dengan pikiran dan ijtihad, tetapi pegangannya, penukilan dan pendengaran diyakini bahwa. sahabat itu mendengar dari Nabi apa yang dituturkannya itu, karena sangat tidak masuk akal bahwa sahabat itu mengatakan yang demikian dari ijtihadnya sen-diri”.

 Dengan syarat-syarat tersebut di atas dapat di-pahami sebagai upaya untuk menshahihkan riwayat guna memastikan adanya pensaksian sendiri atau memastikan bahwa periwayat itu menanyakan langsung kepada orang yang mengetahuinya, barangkali itulah sebabnya para ulama membatasi jalan mengetahui asbab al-nuzul dalam riwayat yang shahih saja mereka tidak membenarkan seseorang mengeluarkan pandapat atau berijtihad.
Macam-macam Asbab al-Nuzul
Dilihat dari kuantitas riwayat asbab al-nuzul ayat yang turun, maka terbagi dua :
1.  Satu peristiwa menjadi sebab turunnya bebera-pa ayat (turun beberapa ayat dengan satu sebab), seperti yang diriwayatkan Imam Turmudzi, al-Hakim dari Ummu Salamah tentang tidak disebutkannya wanita dalam hijrah, maka turun surat al Ah-zab ayat 35 dan surat al-Imran ayat 195.
2.  Beberapa peristiwa yang menjadi sebab turunnya suatu ayat berbilang sebab yang turun satu). Bentuk seperti ini dituntut untuk menyeleksi dan mengompromikan riwayat yang berbilang itu dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Pertama, mengambil yang paling shahih, seperti asbab al-nuzul yang berkaitan dengan lima ayat dari surat adh-Dhuha. Ada yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Mas’ud yaitu keadaan Nabi sedang sakit, ada yang diriwayatkan Thabrani dari ibn Abbas yaitu seekor anak anjing yang mati di bawah ranjang Nabi sehingga Nabi tidak menerima wahyu dari Malaikat Jibril. Dari kedua riwayat tadi tentu yang dijadikan pegangan riwayat imam Bukhari, karena menurut Ibnu Hajar pada riwayat Thabrani terdapat isnad yang majhul. Kedua, apabila riwayat yang berbilang itu nilainya sama-sama shahih maka dengan cara :
  • Tarjih, kalau memungkinkan untuk ditarjih maka pegang yang tarjih dan tinggalkan yang marjuh, seperti masalah ruh yang diriwayatkan Imam Bukhari, bahwa ia dalam ilmu hadits lebih diutamakan, peristiwanya terjadi di Madinah atas pertanyaan kaum Yahudi dan ibnu Mas’ud menyaksikan peristiwa itu sampai selesai sedang Turmudzi peristiwanya terjadi di Mekkah atas pertanyaan orang Quraisy. Maka yang jadi pegangan adalah riwayat imam Bukhari.
  • Ta’addud al asbab, apabila ada dua riwayat atau lebih yang sama shahihnya dan tidak memungkinkan untuk di tarjih juga berdekatan waktunya, maka yang demikian termasuk berbilang sebab yang turun hanya satu, seperti yang terjadi pada sahabat Hilal ibn Umayah dan Uwaimir dalam kasus Wan dalam surat Al-Nur ayat 4‑9, tentang tuduhan berzina terhadap istri harus mendatangkan saksi. Bukhari meri-wayatkan dari Ibnu Abbas dan satunya lagi Bukhari‑Muslim meriwayatkan dari Sahal ibn Sa‘ad yang kejadiannya berdekatan.
  •  Keduanya shahih, maka peristiwa itu menjadi sebab turunnya ayat ini tidak mungkin mengambil salah satunya, juga tidak bisa menolak keduanya karena shahih dan tidak bertentangan (tarjihun bila murajahin).
Tikrar al nazil, apabila dua riwayat atau lebih sama-sama shahih, tidak bisa ditarjih juga tidak bisa disatukan karena kedua peristiwa itu berjauhan waktunya, maka yang demikian termasuk ayat yang berulang turun dengan sebab yang berbilang, seperti yang diriwayatkan Baihaqy dan al Bazzar dari abu hurairah dalam satu riwayat ucapan Nabi tentang balasan terhadap kematian Hamzah yang dirusak badannya waktu perang Uhud, maka turun ayat terakhir surat an-Nahl. Al-Turmudzi dan al-Hakim dari  Ubay bin Kaab dalam riwayat lain, ucapan o-rang Ashar tentang balasan terhadap kematian Hamzah maka turun ayat terakhir surat al Nahl.
Bersambung ......

1 komentar:

  1. terimakasih sharenya,,
    asbabunnuzul memang bisa menjadi pelengkap dalam upaya memahami kandungan makna dalam Qur'an. saya jadi terinspirasi untuk ukut menulis blog tentang asbabunnuzul. ini sebagian materi yang sudah di publish kompilasi asbabunnuzul

    BalasHapus