Sighat atau ta’bir
adalah ungkapan yang digunakan para shahabat dari para perowi untuk menunjukkan
sebab turunnya ayat al-Qur’an, ada beberapa bentuk yaitu :
1. Mengungkapkan dengan lafal asbab al nuzul secara tegas, seperti:
secara definitive menunjukkan sebab nuzul yang sharih (tegas), tidak mengandung makna lain.
2. Tidak diungkapkan dengan lafal yang jelas, tetapi
dengan memasukan ta’qibiyah pada
kata nazala, seperti: ungkapan ini
menunjukkan makna yang shahih, bahwa peristiwa itu menjadi sebab turunnya
ayat.
3. Tidak diungkapkan dengan lafal, tetapi dengan
dipahami dari konteksnya, seperti Rasul ditanya tentang ruh, wanita haid dan
lain-lain. Hal tersebut sudah tentu sharih
karena secara eksplisit tertuang dalam ayat yang bersangkutan.
4. Perowi terkadang mengungkapkan dengan lafal
yang tidak jelas, seperti makna tersebut kadang menunjukkan sebab turun ayat,
kadang menunjukkan hukum terkandung dalam ayat tersebut. Menurut Ibn Taimiyah
kata-kata seperti itu terkadang menyatakan sebab turun dan terkadang menyatakan
kandungan hukum meskipun sebabnya tidak ada.
Shigat pada
ungkapan pertama, kedua dan ketiga merupakan bentuk yang sharih, sedangkan yang keempat merupakan bentuk yang muhtamal. Apabila ditemukan riwayat yang
satu berbentuk sharih dan yang lainnya
berbentuk muhtamal maka yang dijadikan
pegangan yang berbentuk sharih.
Kegunaan Asbab Al-Nuzul dalam Penafsiran Al-Qur’an
Betapa kelirunya orang yang mengatakan bahwa tidak
ada gunanya mempelajari ilmu asbab al
nuzul. Sangat urgen untuk diketahui mengingat faidah dan kegunaannya yang
sangat besar dalam memahami ayat al-Qur’an terutama tafsir. Walaupun pada masa
turun al-Qur’an, para sahabat berbangsa Arab asli, memahami dan menguasai betul
bahasanya. Akan tetapi apabila tidak mengetahui sebab turunnya ayat akan menimbulkan
pemahaman dan penafsiran yang keliru sehingga berakibat fatal.
Seperti yang dialami sahabat Usman ibn Ma’zum dan Amr ibn Ma’addi yang salah
menginterprestasikan surat
al-Maidah ayat 93. Keduanya menganggap bahwa orang Mukmin boleh minum khamar, padahal
sebab turun ayat tersebut ketika diharamkannya khamar ada yang bertanya bagai-mana
orang Mukmin yang sudah meninggal se-dang ia dulu minum khamar.
Keponakan Siti Aisyah, Urwah ibn Zubair bingung
dengan keharusan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah dalam ibadah haji, padahal
dalam su-rat al-Baqarah ayat 158 diungkapkan dengan “tidak berdosa”. Padahal sebab turunnya ayat tersebut waktu itu
lari antara Shafa dan Marwah adalah kebisaaan orang jahiliyah, mereka menyimpan
berhala Isaf dan Nailah di bukit itu untuk diusap.
Ketika Islam lahir patung tersebut di-hancurkan dan
orang Muslim tetap merasa ragu untuk melakukan sa ‘i di tempat itu.
Marwan ibn Hakam merasa bingung dalam memahami surat
al-Baqarah ayat 188, tentang siksaan bagi orang yang merasa senang untuk
mendapatkan pujian dengan apa-apa yang belum ia kerjakan, padahal ayat itu
turun tentang orang Yahudi yang ditanya sesuatu oleh Rasul tetapi mereka menyembunyikan
dan menjawabnya dengan yang lain.
Kemudian dalam surat
al-Baqarah ayat 115, yang secara eksplisit menunjukkan pelaksanaan shalat boleh
menghadap kemana saja, tidak wajib menghadap kiblat. Padahal ayat tersebut
sebab turunnya untuk orang yang sedang safar, shalat di atas kendaraan.
Oleh karena itu al Wahidy berkata, “tidak mungkin dapat mengetahui penafsiran
ayat al-Qur‘an tanpa mengetahui kisahnya dan sebab tu-runnya”.
Daqiq al-‘Ied berkata, “penjelasan sebab turunnya ayat adalah metode yang kuat dalam memahami
makna-makna yang terkandung dalam al‑Qur’an”. Ibn Taimiyah berkata, “mengetahui sebab-sebab turunnya ayat
membantu untuk memahami ayat al-Qur’an, karena mengetahui tentang sebab akan
membawa kepada pengetahuan tentang akibat”.
Al-Zarqani merinci guna dan faidah mempelajari ilmu asbab al-nuzul sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui kandungan hikmah ajaran Allah SWT dengan jelas, terutama yang
berhubungan dengan syari’at dan berkaitan erat dengan tasyri’.
2. Mengetahui
asbab al-nuzul membantu seseorang
dalam memahami ayat sehingga terhindar dari kekeliruan dan keraguan atau
terhindar dari kemubhaman dan kemusykilan.
3. Memudahkan hafalan dan memberikan atsar bagi orang yang mendengarkannya.
Kaidah Menetapkan Hukum Dikaitkan dengan
Asbab Al-Nuzul
Dalam menetapkan hukum yang terkandung dalam ayat-ayat
yang bersifat umum, sama sekali tidak terikat oleh sebab-sebab yang melatarbelakangi
turunnya ayat tersebut. Seperti peristiwa qadzaf
tuduhan berzina Hilal ibn Umayah terhadap istrinya, maka turun ayat-ayat li’an :
والذين يرمون المحصنات ثم لَم يأْ
توا باربعة شهداء
فاجلدوهم ثمانين جلده ... ان كان من الصادقين
Lafal الذين adalah isim mausul berbentuk
jamak, menunjukkan bahwa ayat tersebut bersifat umum, sedangkan yang menjadi
sebab turunnya ayat ini bersifat khusus, yakni kepada Hilal ibn Umayah yang menuduh
istrinya berzina dengan Syuraik ibn Sahma. Bentuk ayat yang bersifat umum ini
tentu saja tidak hanya berlaku bagi Hilal dan istrinya, akan tetapi berlaku
juga bagi setiap orang yang berbuat seperti itu, sesuai dengan keumuman ayat
tersebut, maka lahirlah kaidah ushul
fiqih.
Dan ayat-ayat yang
diberlakukan keumumannya itu, bukan hanya ayat-ayat hukum saja tetapi mencakup
ayat-ayat ancaaman, sindiran, teguran dan lain-lain. Tetapi ada juga sebagian
yang berpendapat bahwa ayat tersebut tetap harus berlaku khusus sesuai dengan kekhususan sebabnya. Oleh karena
itu mereka berpegang pada kaidah ushul fiqh yang sebaliknya.
Dengan kaidah ini, hukum pada ayat tersebut menjadi
sangat terbatas, hanya diberlakukan khusus pada peristiwa yang menyebabkan
turunnya ayat tersebut. Sedangkan untuk menetapkan hukum bagi orang yang
datang kemudian dan mengalami peristiwa yang sama, maka dilakukan dengan jalan
analogi (qiyas) atau berpegang pada
hadits Nabi.
Dilihat dari segi penerapan hukum pada ayat tersebut,
kedua pendapat di atas tidak ada bedanya, karena keduanya sama-sama
melaksanakan hukum qadzaf. Akan
tetapi bila dilihat dari segi argumenttasinya memang berbeda. Mayoritas ulama
cenderung berpegang pada qaidah pertama bahwa hukum qadzaf atas orang orang di kemudian hari yang tentu diluar yang
menjadi sebab turunnya ayat adalah sama, yaitu berdasarkan nash al-Qur’an yang
bersifat Qath’i wurudnya. Sedangkan penerapan hukum yang kedua atas dasar analogi
sebagai hasil ijtihad sudah tentu penentuan hukum tersebut bersifat dzanny dan harus disesuaikan dengan syarat-syarat
qiyas.
Menurut al Zarqani telah menjadi kesepakatan di
kalangan ulama bahwa ayat yang menggunakan lafal khusus dan penerapan hukumnya
pun terbatas pada orang yang menjadi sebab turunnya, seperti pada surat al-Lail ayat 17-21.
Ayat tersebut turun pada Abu Bakar al Siddiq, sehingga menurut para mufassir
kata “الأتقى“ di sana yang dimaksud adalah
Abu Bakar, karena lafalnya menggunakan alif lam al-Ahdiyah, maka tentulah lafal
ini diperuntukkan bagi orang yang ayat tersebut turun padanya. Dari Urwah bahwa
Abu bakar al Siddiq memerdekakan tujuh orang hamba sahaya Islam yang semuanya
disiksa, yaitu: Bilal Amir ibn Fuhairah, al Nahdiah dan putrinya, Ibnu Isa dan
dua orang dari Bani Mau’il.
Analisis
Semua paparan diatas membahas tentang ayat-ayat yang
ada asbab al-nuzulnya, maka bagaimana,
dengan ayat-ayat Allah yang diturunkan tanpa sebab yang mendahuluinya? baik
berupa kisah-kisah umat terdahulu, peristiwa yang telah lalu, khabar-khabar
yang akan terjadi, bahkan keadaan kiamat, nikmat Syurga dan siksa Neraka.
Menurut Hashbi ash Shiddieqy banyak ayat al-Qur’an
yang Allah SWT turunkan sebagai petunjuk bagi manusia ke jalan yang lurus. Dan
Allah menjadikan ayat-ayat itu mempunyai hubungan menurut siyaq Qur’any dengan ayat-ayat sebelumnya dan ayat-ayat
sesudahnya. Diturunkannya bukan sebagai jawaban bagi suatu pertanyaan dan
bukan pula sebagai penjelasan bagi suatu peristiwa yang terjadi ahli-ahli
tafsir terdahulu tidaklah berlebihan, ketika mereka kadang mendahulukan
menggunakan penjelasan tentang hubungan ayat yang satu dengan yang lainnya,
ketimbang mengetahui asbab al nuzulnya
sehingga ditemukan atau terwujudnya keserasian antara ayat-ayat tersebut.
Tetapi untuk mencari wajah munasabah
itu tetap dibutuhkan asbab al nuzul,
seperti dalam surat an-Nisa: 51
Setelah berselang kemudian pada ayat 58 seolah-olah
berceritra tema baru, yaitu tentang menunaikan amanat. Pada ayat 51 asbabnya
tentang seorang ahli kitab, yaitu Ka’ab ibn al Asyraf sesudah perang Badar
sedangkan ayat 51 asbabnya mengenai Usman ibn Talhahal Abdary seorang penjaga
pintu ka’bah masa futuh Mekkah yang berselang enam tahun. Jadi menurut para
ahli tahqiq bahwa ahlul kitab yang
menemukan dalam kitab mereka tentang kebangkitan Nabi SAW dan sifatnya. Kepada
mereka telah diambil suatu perjanjian bahwa mereka tidak boleh menyembunyikan
amanah, tetapi mereka berkhianat, keadaan penghkianatan itu sama dengan orang
yang menerima amanah tetapi tidak mau menyampaikan kepada ahlinya disitulah
wajah munasabah antara a-yat
tersebut.
Sesungguhnya hubungan ayat-ayat al-Qur’an satu dengan
lainnya bergandengan kalimat-kalimatnya dan jumlah-jumlahnya, kenyataannya
serta keserasian sebahagian dengan yang lainnya terdapat suatu ilmu yang
besar, yang di dalammya tersimpan keindahan susunan al-Qur’an dan di bawah
sinar ilmu inilah ditafsirkan kebanyakan hukum-hukum al-Qur’an dan
syari’at-syari‘atnya.
Ilmu tersebut
adalah ilmu munasabah yang dipelopori
oleh Imam Abu Bakar al Naisabury (w. 324 H) di Bagdad. Ia merendahkan nilai
para ulama di ngerinya lantaran tidak mengetahui wajah munasabah dalam ayat-ayat al-Qur’an. Beliau selalu bertanya
apabila dibacakan ayat atau surat
di hadapannya, mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat ini dan mengapa ayat
ini diletakkan sesudah ayat ini? Untuk mengetahui secara rinci tentang ilmu
ini, akan kita bahas dalam tulisan selanjutnya. Kalau menganalisa keterkaitan
antara asbab al-nuzul dengan ilmu munasabah di atas, maka apakah bisa ayat-ayat
yang turunnya tanpa asbab al-nuzul
terlebih dahulu (untuk mengetahui kejelasannya) diteropong lewat ilmu munasabah? Wallahu ‘alam bi al shawab